kutipan wawancara Susno Duadji dengan wartawan Tempo

Buat temen2 yang belum sempet nonton tv or baca koran, dan masih bengong kalo ada orang lain yang ngomongin tentang kasus nya Susno Duadji (bareskrim non aktif).
Tenang, dsini gue kasih liat kutipan wawancara nya wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika menemui Susno Duadji.

Polisi dituduh hendak menggoyang KPK karena memeriksa pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang penyadapan. Komentar Anda?

Kalangan pers harus mencermati, apakah karena dia (Chandra Hamzah) pimpinan KPK lalu ada masalah seperti ini tidak disidik. Katanya, asas hukum kita, semua sama di muka hukum. Jelek sekali polisi kalau ada orang melanggar undang-undang lalu dibiarkan. Kami sudah berupaya netral dan menjadi polisi profesional.

Apa memang ditemukan penyalahgunaan wewenang untuk penyadapan itu?

Saya tidak mengatakan penyalahgunaan atau apa. Silakan masyarakat menilai. Menurut aturan, yang boleh disadap itu orang yang dalam penyidikan korupsi. Kalau Rhani Juliani, apa itu korupsi? Dia bukan pengusaha, bukan pegawai negeri, bukan juga rekanan dari perusahaan. Kalau korupsi, korupsi apa, harus jelas.

Tapi sikap Anda ini dinilai menggembosi KPK?

Kalau kami mau menggembosi itu gampang. Tarik semua personel polisi, jaksa. Nanti sore juga bisa gembos. Lalu Komisi III nggak usah beri anggaran. Kami berteriak-teriak ini supaya baik republik ini.

Kami mendapat informasi, saat diperiksa Antasari membeberkan keburukan pimpinan KPK yang lain.

Saya tidak tahu, tanya ke Antasari. Lha, sekarang kalau pimpinannya yang mengatakan lembaga itu bobrok, berarti parah, dong. Dia kan yang paling tahu. Dia kan pimpinannya.

Ada kesan polisi dan KPK justru berkompetisi, bukan bersinergi. Benar?

Tidak, yang melahirkan KPK itu polisi dan jaksa. Saya anggota tim perancang undang-undang (KPK). Kami sangat mendukung. Tapi karena opini yang dibentuk salah, seolah-olah jadi pesaing. Padahal 125 personel yang melakukan penangkapan dan penyelidikan (di KPK) itu kan personel polisi. Penuntutnya juga dari kejaksaan. Kalau nggak gitu, ya matek (mati) mereka. Jadi, tak benar jika dikatakan ada persaingan

Anda, kabarnya, juga akan ditangkap tim KPK karena terkait kasus Bank Century?

Ah, ya enggak, itu kan dibesar-besarkan. Mau disergap, timbul pertanyaan siapa yang mau menyergap. Mereka kan anak buah saya. Kalau bukan mereka, siapa yang mau nangkap? Makanya, Kabareskrim itu dipilih orang baik, agar tidak ditangkap.

Kalau penyidik KPK yang menangkap?

Mana berani dia nangkap?

Karena adanya berita itu, Anda katanya marah sekali sehingga kemudian memanggil semua polisi yang bertugas di KPK?

Tidak, saya tidak marah. Mereka kan anak buah saya. Mereka pasti memberi tahu saya. Saya cuma kasih tahu kepada mereka, gunakan kewenangan itu dengan baik.

Apa benar Anda minta imbalan untuk penerbitan surat kepada Bank Century agar mencairkan uang Boedi Sampoerno?

Imbalan apa? Apanya yang dikeluarkan? Semua akan dibayar, kok. Bank itu tidak mati, semua aset diakui dan ada. Terus apa lagi yang mesti diurus? Yang perlu diurus, uang yang dilarikan Robert Tantular itu.

Jadi, apa konteksnya saat itu Anda mengirim surat ke Bank Century?

Konteksnya, saya minta jangan dicairkan dulu rekening yang besar-besar. Kami teliti dulu. Paling besar kan punya Boedi Sampoerna, nilainya triliunan rupiah. Kami periksa dulu, kenapa Boedi Sampoerna awalnya nggak mau melaporkan.

Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?

Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.

Ada Apa dengan Aparat Kepolisian [sumb-1, sumb-2]

Dua lembaga penegakan hukum di Indonesia yakni Kejaksaan dan Kepolisian selama ini mendapat cap buruk sebagai sarang korupsi dan sarang tindakan kriminal. Pada tahun 2008, Polri mendapat peringkat pertama sebagai lembaga publik terkorup di Indonesia [TII, 2008]. Sedangkan 2009, giliran lembaga peradilan/kejaksaan mendapat Cicak‘juara” kedua sebagai lembaga terkorup setelah DPR. [TTI, 2009]. Belum cukup sampai disana, pada 24 Juni 2009, Amnesti Internasional merilis dokumen setebal 89 halaman berjudul “Urusan Yang Tak Selesai: Pertanggungjawaban Kepolisian di Indonesia” dengan inti laporan adalah kepolisian Indonesia melakukan penyiksaan, pemerasan, dan kekerasan seksual terhadap tersangka yang mana perilaku ini sebagai budaya melanggar hukum pada 2008 dan 2009 [sumber,2009]

Dan blunder yang paling panas adalah pernyataan Kabareskrim MSD yang menyatakan petinggi kepolisian tidak dapat disentuh oleh KPK. Pernyataan SD ini membawa ingatan kita pada perseteruan antara polisi dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC), lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong (Kompas, 2 Juli 2009).

Pada tahun 1977, “KPK Hongkong” tersebut membongkar kasus korupsi Kepala Polisi Hongkong yang tertangkap tangan menyimpan aset sebesar 4,3 juta dollar Hongkong dan menyembunyikan uang 600.000 dollar AS. Akibatnya, beberapa saat kemudian, Kantor ICAC digempur oleh polisi Hongkong. Setelah pengadilan memutuskan bahwa Kepala Polisi tersebut memang terbukti bersalah dan ICAC terbukti bersih, maka Hongkong pun kini dikenal sebagai negara yang relatif bersih dari tindak pidana korupsi. Dan fakta ini tak lepas dari kinerja ICAC.

Gerakan CICAK [sumber]


kutipan ini gw posting dari google.

kalo mau liat lebih lengkap silahkan aja link ke address ini : http://nusantaranews.wordpress.com/2009/07/13/gerakan-cicak-dan-kisah-cicak-melawan-buaya-kpk-vs-polri/)

karikatur CICAK VS BUAYA

Ini adalah karikatur gambar dari guratan kekecewaan masyarakat awam terhadap peristiwa yang sedang terjadi di negara ini. jangan dibuat jadi pancingan amarah, anggap saja ini adalah suara rakyat yang belum dapat didengar oleh kalangan atas (pemerintah). Menyingkap dari gelap gulita nya hukum di negara ini.

www.ruanghati.com

www.
ruanghati.com

www.ruanghati.com


(posting : http://ruanghati.com/2009/11/02/perlawanan-cicak-vs-buaya-dalam-karikatur-sindiran-dan-refleksi/)

STRUKTUR ORGANISASI KOPERASI 2

STRUKTUR ORGANISASI KOPERASI 1

SOP DAN APLIKASI E-CREDIT UNTUK MENDETEKSI ASSYMETRIC INFORMATION DI PASAR KREDIT BPR

A. Judul Program
SOP DAN APLIKASI E-CREDIT UNTUK MENDETEKSI ASSYMETRIC INFORMATION DI PASAR KREDIT BPR

B. Latar Belakang Masalah
Pasar kredit perbankan di Indonesia masih diwarnai dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, terutama setelah Bank Indonesia (BI) melalui Paket Juni 2005 memperketat ketentuan kolektibilitas sebuah kredit. Khusus untuk NPL kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan 51% dari total kredit perbankan hanya sebesar 2,09% (Retnadi,2006). Berlatar belakang kenyataan ini maka Bank Indonesia mendorong pengembangan kredit untuk membiayai UMKM sedangkan bagi bank yang tidak berkompeten dalam pembiayaan UMKM disarankan mengembangkan kredit konsumsi.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), terdapat 5 kelas kelas bank dalam struktur perbankan yaitu bank internasional dengan modal di atas Rp50 triliun, bank nasional dengan modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun, bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu dengan modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun, serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp100 miliar. Seiring dengan konsentrasi pengembangan kredit pada kredit UMKM dan kredit konsumsi, maka BI melalui Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat 2006 mencanangkan bahwa BPR menjadi salah satu pilar penting dalam sistem keuangan mikro Indonesia. Hal ini sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki BPR, yaitu BPR memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, proses yang cepat, dan skim kredit yang lebih fleksibel. Selain itu, BPR juga unggul dalam hal pelayanan kepada nasabah yang mengutamakan pendekatan personal dan ‘jemput bola’, lokasi kantor yang dekat dengan nasabah, serta lebih memahami ekonomi dan masyarakat setempat. Jika melihat data akhir bulan Juli 2006, rata-rata saldo tabungan, deposito dan kredit per rekening nasabah BPR adalah masing-masing sebesar Rp699 ribu, Rp29,5 juta dan Rp6,7 juta, maka secara implisit data tersebut mencerminkan karakteristik nasabah dan fokus layanan BPR pada masyarakat menengah kebawah serta para pengusaha mikro dan kecil (UMK).
Yang menjadi masalah adalah, jika dibandingkan dengan bank umum, NPL BPR lebih tinggi daripada NPL bank umum walaupun BPR memiliki Loan to Deposit Ratio (LDR) yang lebih baik dari bank umum. Selama periode tahun 2001 sampai dengan Juli 2006 rata-rata LDR BPR adalah 77,9% sedangkan Bank Umum hanya 47,7% (Gambar 1). Sebanyak 81,3% dari seluruh BPR di Indonesia memiliki rasio LDR diatas 70% (Gambar 2). Hal ini mengisyaratkan bahwa kemampuan BPR untuk menyalurkan dananya lebih baik dari pada Bank Umum. Namun secara historik, meskipun angka LDR BPR selalu diatas angka LDR Bank Umum, terlihat bahwa LDR BPR pada 3 tahun terakhir tidak mengalami perkembangan yang cukup baik bahkan mengalami sedikit penurunan. Sebaliknya, secara perlahan LDR Bank Umum justru memperlihatkan perkembangan yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan adanya kesulitan BPR untuk mengembangkan penyaluran kredit kepada masyarakat. Kemudian jika dilihat dari data NPL, pada periode tahun 2001 sampai dengan 2006 rata-rata NPL BPR mencapai 8,9% melebihi NPL Bank Umum yaitu 7,8% (Gambar 3). Sama halnya dengan LDR, hampir dikeseluruhan periode periode tahun 2001 s/d 2006, angka NPL BPR selalu berada di atas angka NPL Bank Umum. Bahkan selama 3 tahun terakhir, NPL BPR cenderung mengalami kenaikan. Hal ini berarti tingkat kegagalan kredit BPR relatif lebih tinggi di bandingkan dengan Bank Umum. Apakah tingginya tingkat kegagalan kredit ini menggambarkan adanya masalah asymmetric information pada pasar kredit BPR?


Gambar 1. Perkembangan LDR BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006


Gambar 2. Sebaran Rasio LDR BPR per Juli 2006

Gambar 3. Perkembangan NPL BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006
(Sumber : Bank Indonesia, Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006)

Data menunjukkan bahwa sekitar 12 juta dari 15 juta UMK berbadan hukum belum mendapatkan kredit perbankan (Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006). Selain itu, sebagian besar masyarakat pedesaan yang populasinya mencapai sekitar 56,5% dari total penduduk Indonesia belum tersentuh layanan perbankan (BPS, 2005). Hal ini merupakan potensi pasar sekaligus pekerjaan rumah tersendiri bagi BPR. Dengan karakteristik opersional BPR yang sederhana dan fleksibel karena mengutamakan pendekatan personal, BPR dianggap mampu menjadi solusi kendala keuangan UMK dan masyarakat pedesaan. Namun disisi lain, data yang menunjukkan bahwa LDR dan NPL BPR yang relatif tinggi dibandingkan dengan bank umum mengindikasikan bahwa BPR kurang hati-hati dalam menyalurkan dana kreditnya.
Alat analisis kredit yang dikembangkan berdasarkan prinsip 6C pun belum dipakai sepenuhnya sebagai alat pengumpulan informasi yang berguna untuk menilai kelayakan sebuah aplikasi kredit dan masih dilaksanakan secara manual. Sehingga efeisiensi prosedur kredit sulit dicapai sesuai dengan target penyaluran kredit dan kualitas kolektibilitas (lancar tidaknya ) kredit di pasar BPR.

C. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Apakah terjadi Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Apakah terdapat pengaruh Asymetric information terhadap kelancaran maupun kegagalan kredit di BPR?

D. Tujuan Program
1. Menganalisa efisiensi prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Menguraikan keberadaan Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Menganalisa adanya pengaruh Asymetric information terhadap kegagalan kredit yang terjadi pada pasar kredit BPR?
Sesuai dengan keterbatasan tim, khsususnya dalam hal kemampuan, waktu dan biaya. Maka unit analisa pada program ini dibatasi hanya pada BPR yang yang berlokasi di sekitar kampus Universitas Gunadarma, Depok.

E. Luaran Yang Diharapkan
Berdasarkan rumusan dan tujuan di atas, hasil dari program ini adalah:
1. Gambaran informasi pasar kredit BPR di seputar jalan Margonda
2. Standar dan prosedur aplikasi kredit di BPR
3. Rancangan aplikasi e-kredit untuk BPR.

F. Kegunaan Program
Program kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Sebagai standar dan prosedur apliaksi kredit berbasis elektronik yang efisien.
2. Sebagai alternatif penjelasan bagi BPR mengenai sebab lancar atau gagalnya kredit.
3. Sebagai alternatif pertimbangan bagi BPR untuk mempertajam analisis kredit yang dapat mengurangi masalah adverse selection dan moral hazard sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit.
4. Sebagai alternatif pertimbangan bagi Bank Indonesia sebagai regulator perbankan untuk menentukan kebijakan yang lebih tepat mengenai analisis kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit perbankan nasional.
5. Sebagai kontribusi bagi ilmu pengetahuan, khususnya masalah adverse selection dan moral hazard, terutama pada pasar kredit perbankan skala kecil.

G. Tinjauan Pustaka
Asymmetric Information
Perjanjian kredit disusun sebagai landasan hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak penerima pinjaman (nasabah) dan pihak pemberi pinjaman (bank). Pada dasarnya nasabah berjanji untuk membayar pokok pinjaman ditambah sejumlah bunga yang telah ditetapkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Mengingat adanya ketidakpastian (uncertainty) yang melekat sebuah proyek, maka kemampuan nasabah membayar kreditnya juga diragukan. Untuk mengatasi hal ini maka harus ditentukan kemungkinan total pembayaran kredit nasabah dan penetapan suku bunga kredit sebagai konsekuensinya. Masalah lain, lemahnya janji nasabah untuk mematuhi perjanjian sangat sulit untuk diukur. Seorang analis kredit yang berpengalaman akan memperhatikan apakah seorang nasabah berusaha untuk membuat samar sifat dasar usaha yang dilakukannya, karena mengalihkan penggunaan dana kredit atau menyembunyikan hasil investasi yang sebenarnya. Isu ini dikenal dengan masalah asymmetric information. Konflik kepentingan akan muncul jika faktor-faktor ini mengganggu keuntungan bank.
Perjanjian kredit akan disepakati oleh bank dan nasabah jika keuntungan yang diharapkan (expected profit) pihak bank dan nasabah minimal setara atau lebih besar dari laba yang diharapkan dari investasi dana kredit tersebut pada proyek lainnya (participation constraint atau individual rationality constraint). Atau dengan kata lain, tidak ada pihak yang akan berpartisipasi dalam sebuah proyek dengan pendapatan yang diharapkan (expected return) negatif, atau dengan profit yang tidak mencapai nilai minimal expected profit, ditandai dengan kesempatan investasi lain yang akan hilang karena adanya investasi tersebut (opportunity cost atau required return).

Nilai yang diharapkan (Expected Value) dari sebuah proyek adalah :
..........(1)
Dimana :
adalah probabilitas sukses yang menyebabkan pembayaran kredit lancar
adalah probabilitas gagal yang menyebabkan pembayaran kredit terhenti
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika sukses
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika gagal
Jika bank dan nasabah memiliki akses terhadap informasi yang sama yang berkaitan dengan perjanjian kredit, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian direalisasikan dalam kondisi symmetric information. Namun sebaliknya, jika bank dan nasabah tidak memiliki akses terhadap informasi yang sama, maka perjanjian kredit disetujui kedua belah pihak dalam kondisi asymmetric information. Atau dengan kata lain, Nasabah memiliki informasi yang bank tidak peduli atau bank tidak memiliki akses untuk mendapatkannya. Masalah ini menjadi perhatian bank ketika nasabah dapat memanfaatkan informasi yang dimilikinya dengan memanfaatkan pengeluaran bank, yaitu :
1. Nasabah melanggar proyek kredit dengan cara menyembunyikan informasi mengenai karakteristik dan pendapatan usaha yang dijalankannya.
2. Bank tidak memiliki informasi yang cukup atau melakukan kontrol terhadap nasabah untuk menghindari kecurangan .
3. Terdapat risiko pembayaran kredit dan nasabah memiliki limited liability.

Adverse Selection
Pemberi pinjaman menderita adverse selection ketika tidak mampu membedakan nasabah/proyek berdasarkan risiko yang dimilikinya. Masalah adverse selection muncul sebelum nasabah menerima kredit. Perbedaan tingkat suku bunga, expected profit nasabah dan expected income bank dengan dan tanpa adverse selection. Ketika tidak terjadi adverse selection maka tingkat suku bunga untuk nasabah/proyek dengan risiko tinggi lebih tinggi dibanding dengan nasabah/proyek dengan risiko rendah kemudian bank menerima expected income yang sesuai. Tetapi ketika terjadi adverse selection, nasabah dengan tingkat risiko yang berbeda menerima tingkat suku bunga yang sama. Dari nasabah dengan proyek a, bank menerima expected income yang lebih besar dari yang seharusnya. Sebaliknya, dari nasabah dengan proyek b bank menerima expected income yang lebih kecil dari yang seharusnya. Dengan demikian, nasabah berisiko tinggi akan mendapatkan keuntungan lebih besar dalam kondisi imperfect information.

Moral Hazard
Kemampuan nasabah untuk menggunakan dananya untuk keperluan lain yang tidak sama seperti yang telah disepakati sebelumnya dengan bank. Bank tidak memiliki kemampuan untuk melakukan observasi karena keterbatasan informasi dan keterbatasan untuk melakukan kontrol terhadap nasabah.
Nasabah pasti akan meyakinkan bank bahwa akan memilih proyek h, dengan demikian akan dikenakan suku bunga yang lebih rendah dari pada memilih proyek l. Namun mengingat tanpa sepengetahuan bank, nasabah dapa mengalihkan penggunaan kredit ke proyek l yang menyebabkan bank memperoleh expected income yang lebih rendah, maka bank harus meyakinkan bahwa proyek h lebih menarik dari kacamata nasabah. Oleh karena itu bank harus memastikan bahwa (incentive compatibility constraint).
Dengan demikian, jika tingkat suku bunga ditetapkan dengan memenuhi persyaratan di atas, maka tidak terjadi moral hazard. Sebaliknya jika suku bunga ditentukan lebih dari persyaratan di atas, maka nasabah akan tertarik untuk mengalihkan menjalani proyek l dengan berpura-pura akan menjalani proyek h untuk mendapatkan suku bunga yang lebih rendah.

BPR
Landasan Hukum BPR adalah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah gdiubah dengan UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR sebagai satu jenis bank yang kegiatan usahanya terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya BPR dapat menjalankan usahanya secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.
Kegiatan usaha yang diperkenankan dilakukan oleh BPR sangat terbatas dibandingkan dengan Bank Umum, yaitu hanya meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, memberikan kredit serta menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/ atau
Dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan serta memberikan arah dan strategi perbankan ke depan maka disusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan di Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu sampai sepuluh tahun berlandaskan visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai visi tersebut, salah satu sasaran yang ingin dicapai yaitu menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat tercapai struktur perbankan yang terdiri dari empat strata bank yaitu bank internasional yang memiliki kapasitas dan kemampuan beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp50 triliun; bank nasional yang memiliki cakupan usaha sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun; bank dengan fokus usaha tertentu yaitu bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank serta memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun; serta BPR dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar. Dalam rangka mencapai visi tersebut di atas, program-program API telah memberikan perhatian pada perlunya penguatan permodalan, kelembagaan dan manajemen BPR, serta penyempurnaan pengaturan dan pengawasan BPR.
Selama ini, sebagian besar pengusaha mikro dan kecil serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan baik dari aspek pembiayaan maupun penyimpanan dana. Adapun lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut adalah BPR dengan pertimbangan:
a. BPR merupakan lembaga intermediasi sesuai dengan UU Perbankan.
b. BPR merupakan lembaga keuangan yang diatur dan diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia.
c. Adanya penjaminan oleh LPS atas dana masyarakat yang disimpan di BPR.
d. BPR berlokasi di sekitar UMK dan masyarakat pedesaan, serta memfokuskan pelayanannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
e. BPR memiliki karakteristik operasional yang spesifik yang memungkinkan BPR dapat menjangkau dan melayani UMK dan masyarakat pedesaan.

Dari uraian di atas, maka kerangka program kegiatan dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4. Kerangka Programi

H. Metode Program
Survei dan eksperimen terhadap BPR akan dilakukan dengan prosedur penetapan BPR sebagai unit amatan. Data bulan Juli 2006 menunjukkan terdapat 1935 BPR di Indonesia (Cetak Biru BPR, 2006). Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya mengharuskan tim membatasi BPR yang akan menjadi unit amatan.

Secara rinci kriteria yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
1. BPR berlokasi di seputar Jl. Margonda raya (seputar Kampus Universitas Gunadarma, Depok).
2. BPR anggota asosiasi BPR yaitu Perbarindo (Perhimpunan BPR Indonesia). Dalam Cetak Biru BPR (2006), BI mencanangkan Perbarindo sebagai infrastruktur penting yang dibentuk dalam rangka meningkatkan kinerja dan pengembangan BPR. Oleh karena itu, untuk mempermudah akses perolehan data, BPR yang menjadi objek penelitian adalah BPR yang menjadi anggota Perbarindo.
3. BPR sudah menyerahkan laporan keuangan ke Perbarindo.
Sebelum masuk pada pembatasan dengan kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan BPR, hal yang harus diperhatikan adalah kemungkinan perolehan data. Dalam hal ini, BI sebagai pihak yang memiliki data lengkap tidak dapat memberikan data dengan alasan kerahasiaan data. Namun demikian, pada tahun 2005 Perbarindo menerbitkan buku Direktori Perbarindo yang berisi daftar BPR anggota Perbarindo. Di dalam buku tersebut juga tercantum laporan keuangan secara singkat. Sehingga pemilihan BPR yang memenuhi kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan hanya dapat dilakukan terhadap BPR yang laporan keuangannya tercantum dalam buku Direktori Perbarindo 2005.
4. Menganalisa aplikasi kredit sebagai sumber data dari nasabah semua BPR amatan
5. Mengamati prosedur aplikasi kredit dari awal, proses sampai dengan keputusan setiap aplikasi kredit di BPR amatan
6. merancang output aplikasi e-kredit untuk BPR.
7. Implementasi Rancangan output apliaksi e-kredit untuk BPR.





I. Jadwal Kegiatan Program
a) Jadwal Kegiatan Program
b) Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok
c) Nama dan Biodata Dosen Pendamping
d) Biaya
e) Daftar Pustaka (untuk PKMP dan PKMT)
f) Lampiran

SIDANG D3 akuntansi-komputer




.....detik2 menjelang sidang "tempur" deg-deg-an nya
kaya mau ikut audisi Indosian Idol.....
mukanya pada kuceL semua...semalem ga ada yang tidur
ngapalin LKP.....







..... ni foto pas udah selesai pengumuman...







.....foto narsis setelah sudah merasa kan keberhasilan.....













.....mencatat sejarah dengan "sidang pertama" D3 akuntansi komputer
angkatan 2006.....








.....LULUS......

my best moment in GRADUATED...
























































GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)















LATAR BELAKANG

Latar belakang kebutuhan atas good corporate governance (GCG) dapat dilihat dari latar belakang praktis dan latar belakang akademis.

  • Dari latar belakang praktis, dapat dilihat dari pengalaman Amerika Serikat yang harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi politik Indonesia yang dimulai tahun 1997 yang efeknya masih terasa hingga saat ini.
    Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat pada saat ini juga ditengarai karena tidak diterapkannya prinsip-prinsip GCG, beberapa kasus skandal keuangan seperti Enron Corp., Worldcom, Xerox dan lainnya melibatkan top eksekutif perusahaan tersebut menggambarkan tidak diterapkannya pronsip-prinsip GCG.
  • Dari latar belakang akademis, kebutuhan good corporate governance timbul berkaitan dengan principal-agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya. Konflik muncul karena perbedaan kepentingan tersebut haruslah dikelola sehingga tidak menimbulkan kerugian pada para pihak.
    Korporasi yang dibentuk dan merupakan suatu Entitas tersendiri yang terpisah merupakan Subyek Hukum, sehingga keberadaan korporasi dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) tersebut haruslah dilindungi melalui penerapan GCG.
    Selain pendekatan model Agency Theory dan Stakeholders Theory tersebut di atas, kajian permasalahan GCG oleh para akdemisi dan praktisi juga berdasarkan Stewardship Theory, Management Theory dan lainnya.


Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara, menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip GCG sebagai landasan operasionalnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.


PENGERTIAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE


Secara umum istilah good corporate governance merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari "nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft definition). Tim GCG BPKP mendefinisikan GCG dari segi soft definition yang mudah dicerna, sekalipun orang awam, yaitu:
"KOMITMEN, ATURAN MAIN, SERTA PRAKTIK PENYELENGGARAAN BISNIS SECARA SEHAT DAN BERETIKA"


PERAN BPKP DALAM PE
NGEMBANGAN GCG


Sesuai surat Nomor: S-359/MK.05/2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang Pengkajian Sistem Manajemen BUMN dengan prinsip-prinsip good corporate governance, Menteri Keuangan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan kajian dan pengembangan sistem manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengacu pada prinsip Good Corporate Governance (GCG). Selanjutnya, BPKP telah membentuk Tim Good Corporate Governance dengan Surat Keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-06.02.00-316/K/2000 yang diperbaharui dengan KEP-06.02.00-268/K/2001.
Tim GCG tersebut mempunyai tugas:
"MERUMUSKAN PRINSIP-PRINSIP PEDOMAN EVALUASI, IMPLEMENTASI DAN SOSIALISASI PENERAPAN GCG, SERTA MEMBERIKAN MASUKAN KEPADA PEMERINTAH DALAM MENGEMBANGKAN SISTEM PELAPORAN KINERJA DALAM RANGKA PENERAPAN GCG PADA BUMN/BUMD DAN BADAN USAHA LAINNYA (BUL)"


Sebagai bagian dari peningkatan governance di lingkungan Pemerintah Indonesia serta dorongan dari beberapa lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan Overseas Economic Coordination Fund (OECF), BPKP ikut mengerahkan sumber dayanya untuk mendorong pen
erapan good corporate governance di lingkungan BUMN/D. Dilingkungan BUMN, upaya ini juga dilakukan dalam rangka merespon surat Menteri Keuangan No. 359/MK.05/2001 tanggal 21 Juni 2001 seperti disebutkan di atas.
Selanjutnya, dengan dialihkannya Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN tersebut, saat ini sedang dilakukan tindak lanjut kerjasama dengan Kantor Kementrian BUMN.


Demikian pula halnya dengan good corporate governance di bidang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BPKP telah melakukan interaksi dengan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Otda) cq. Dirjen Otda. Upaya yang dilakukan oleh Tim GCG BPKP berupa menyusun kajian dan bahan untuk sosialisasi GCG di BUMN/D. Strategi yang dilakukan adalah melakukan kerjasama dengan Kantor Kementrian BUMN untuk melakukan Sosialisasi, Lokakarya dan Asistensi Implementasi GCG


Dalam rangka mengukur tingkat penerapan GCG pada BUMN pertama kalinya, Menteri BUMN meminta bantuan BPKP untuk melakukan pengukuran dan pengujian penerapan GCG (Assessment) pada 16 BUMN, pengujian dan pengukuran GCG di 16 BUMN yang telah dilakukan oleh BPKP merupakan momentum yang sangat strategis bagi dalam mengukur dan menguji penerapan GCG pada BUMN dan mendorong penerapannya. Setelah pengujian 16 BUMN tersebut pengukuran dan pengujian penerapan GCG berlanjut pada BUMN-BUMN lainnya, seperti BUMN sektor jasa keuangan, jasa konstruksi, perdagangan, sektor perkebuanan, perhubungan dan lain-lain.

(posting : http://www.bpkp.go.id/?idunit=21&idpage=326)

8 KAP YANG DIBEKUKAN

Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan sanksi pembekuan atas izin usaha atas 8 Akuntan Publik (AP) dan Kantor Akuntan Publik (KAP). Atas dasar peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik. Mereka terkena sanksi karena belum memenuhi Standar Auditing (SA).
1. AP Drs. Basyiruddin Nur
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1093/KM.1/2009 tanggal 2 September 2009. AP Basyiruddin Nur dinyatakan belum memenuhi standar atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Datascrip di tahun buku 2007,yang dinilai berpotensi berpengaruh
terhadap Laporan auditor independen.

2. AP Drs. Hans Burhanuddin Makarao
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1124/KM.1/2009 tanggal 9 September 2009 telah dibekukan selama 3 bulan karena belum memenuhi Standar Auditing (SA) dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) atas Laporan Keuangan PT Samcon di tahun buku 2008. Laporan ini dinilai akan berpotensi akan berpengaruh terhadap Laporan Keuangan auditor.

3. AP Drs. Dadi Muchidin
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1140/KM.1/2009 tanggal 4 September 2009 dan dikenakan sanksi selama 3 bulan. Hal ini karena KAP Dadi Muchidin dibekukan. Jadi sesuai dengan Ketentuan Pasal 71 ayat 3 Peraturan Menteri Keuangan bahwa izin AP Pemimpin KaP dibekukan jika izin usaha KAP dibekukan.

4. KAP Dadi Muchidin
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1140/KM.1/2009 tanggal 4 September 2009 dan dikenakan sanksi selama 3 bulan. Hal ini disebabkan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 kali. tetapi masih melakukan pelanggaran yaitu tidak menyampaikan Laporan Tahunan KAP tahun takwin 2008.

5. KAP Matias Zakaria
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1117/KM.1/2009 tanggal 7 September 2009 KAP Matias Zakaria dikenakan sanksi selama 3 bulanHal ini disebabkan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 kali. tetapi masih melakukan pelanggaran yaitu tidak menyampaikan Laporan Tahunan KAP tahun takwin 2007 dan 2008.

6. KAP Soejono
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1118/KM.1/2009 tanggal 7 September 2009 KAP Matias Zakaria dikenakan sanksi selama 3 bulan. Hal ini disebabkan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 kali. Tetapi masih melakukan pelanggaran yaitu tidak menyampaikan Laporan Tahunan KAP tahun takwin 2005 sampai dengan 2008.

7. KAP ABdul Azis B
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1119/KM.1/2009 tanggal 7 September 2009 KAP Matias Zakaria dikenakan sanksi selama 3 bulanHal ini disebabkan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 kali dan masih melakukan pelanggaran sampai saat ini. tetapi masih melakukan pelanggaran yaitu tidak menyampaikan Laporan Tahunan KAP tahun takwin 2005, 2007 dan 2008.

8. KAP M. Isjwara
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 1120/KM.1/2009 tanggal 7 September 2009 KAP Matias Zakaria dikenakan sanksi selama 3 bulan.Hal ini disebabkan karena KAP tersebut telah dikenakan sanksi peringatan sebanyak 3 kali dan masih melakukan pelanggaran sampai saat ini. tetapi masih melakukan pelanggaran yaitu tidak menyampaikan Laporan Tahunan KAP tahun takwin 2007 dan 2008. Sumber : google.com (okezone)

Jadi, para AP dan KAP yang dibekukan karena lalai dalam menyampaikan laporan yang seharusnya sudah disampaikan. Oleh karena itu, mereka dikenakan sanksi mulai dari peringatan sampai dibekukan.

(posting : http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:official&um=1&q=8%20kap%20yang%20dibekukan&ndsp=20&ie=UTF-8&sa=N&tab=iw&start=0)

7 PRINSIP- KOPERASI







Menurut UU No. 25 tahun 1992 Pasal 5 disebutkan prinsip koperasi, yaitu:

  • Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
  • Pengelolaan dilakukan secara demokratis
  • Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota (andil anggota tersebut dalam koperasi)
  • Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
  • Kemandirian
  • Pendidikan perkoprasian
  • kerjasama antar koperasi

a. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa, seseorang tidak boleh di paksa untuk menjadi anggota koperasi, namun harus berdasar atas kesadaran sendiri. Setiap orang yang akan menjadi anggota harus menyadari bahwa koperasi akan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan saosial ekonominya. Dengan kkeyakinan tersebut, maka partisipasi aktif setiap anggota terhadap organisasi dan usaha koperasi akan timbul. Karena itu, dalam pembinaan dan pengembangan koperasi prinsip ini sebaiknya dilaksanakan secara konsekuen sehingga koperasi dapat tumbuh dari bawah dan mengakar.

Sifat Keterbukaan mengandung makna bahwa didlam keanggotaan koperasi tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun. Keanggotaan koperasi terbua bagi siapapn yang memenuhi syarat-syarat keanggotaan atas dasar persamaan kepentingan ekonoi atau karena kepentingan ekonominya dapat di layani oleh koperasi.

Makna sifat sukarela dalam kenggotaan koperasi yaitu:

- Keanggotaan kperasi tidak boleh dipakasakan oleh siapapu

- Seorang anggota dapat mengundurkan diri dari koperasinya sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam AD/ART koperasi.

b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis

Prinsip pengelolaan secara demokratis didasarkan pada kesamaan hak suara bagi setiap anggota alam pengelolaan koperasi. Pemilihan para pengelola koperasi dilaksanakan pada saat rapat anggota. Para pengelola koperasi berasal dari para anggota koperasi itu sendiri. Pada saat rapat anggota, setiap anggota yang hadir mempunyai hak suara yang sama dalam pemilihan pengurus dan pengawas. Setiap anggota mempunyai hak yang sama untuk memilih da di pilih menjadi pengelola.

Di dalam rapat anggota yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi berlaku asas kesamaan derajat, dimana setiap anggota mempunyai hak satu suara. Kekuasaan berada ditangan anggota dan bukan pada pemilik modal.

Prinsip ini menonjolkan posisi anggota sebagai pemilik (owner) yang sangat strategis dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi koperasinya. Dalam praktiknya prinsip ini lebih terlihat pada saat koperasi menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT).

c. Pembagian SHU dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing.

SHU adalah selisihantara pendapatan yang diperoleh dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan usaha. Pendapatan koperasi diperoleh dari pelayanan anggota dan masyarakat.

Makna dari prinsip ini dapat disimpulkan sbb:

- Koperasi bukanlah badan usaha yang berwatak kapitalis sehingga SHU yang dibagi kepada anggota tidak berdasarkan modal yang dimiliki anggota dalam koperasinya tetapi berdasarkan kontribusi jasa usaha yang diberikan kepada anggotanya.

- Koperasi Indonesia tetap konsisten untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan masyarakat.

d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal

Modal dalam koperasi pada dasarnya digunakan untuk melayani anggota dan masyarakat sekitarnya, dengan mengutamakan pelayanan bagi anggota. Dari pelayanan itu diharapkan bahwa koperasi mendapatkan nilai lebih dari selisih antara biaya pelayanan dan pendapatan. Karena itu, balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada para anggota ataupun sebaliknya juga terbatas, tidak didasarkan semata-mata atas besarnya modal yang di berikan. Yang dimaksud dengan terbatas adlah pemberian balas jasa atas modal yang ditanamkan pada koperasi akan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki koperasi. Jasa atau bunga adalah terbatas mengandung makna :

- Fungsi modal dalam koperasi bukan sekedar untuk mencari keuntungan, akan tetapi digunakan untuk kemanfaatan anggota.

- Jasa yang terbatas berarti bahwa suku bunga atas modal dalam koperasi tidak melebihi suku bunga yang berlaku dipasar.

e. Kemandirian

Kemandirian pada koperasi dimaksudkan bahwa koperasi harus mampu berdiri sendiri dalam hal pengambilan keputusan usaha dan organisasi. Dalam kemandirian, terkadang pula pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, dan keberanian mempertanggungjawabkan segala tindakan/perbuatan sendiri dalam pengelolaan usaha dan organisasi. Agar koperasi dapat mandiri, peran serta anggota sebagai pemilik dan pengguna jasa sangat menentukan. Bila setiap anggota konsuken dengan keanggotaannya dalam arti melakkan segala aktivitas ekonominya melalui koperasi dan koperasi mampu menyediakannya, maka prinsip kemandirian ini akan tercapai. Sebagai pemilik, anggota harus berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, menyetor simpanan pokok dan simpanan wajib sebagai sumber modal koperasi, dan mengendalikan/mengawasi gerak langkah koperasi agar tetap sesuai dengan kepentingan ekonomi anggota. Sebagai pengguna jasa anggota harus memanfaatkan pelayanan-pelayanan yang diselenggarakan untuk kepentingan anggota.

f. Pendidikan Perkoperasian

Keberhasilan koperasi sangat erat hubungannya dengan partisipasi aktif setiap anggotanya. Seorang anggota akan mau berpartisipasi bila yang bersangkutan mengetahui tujuan organisasi tersebut manfaatnya terhadap dirinya, dan cara oganisasi itu dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu, keputusan seseorang untuk masuk menjadi anggota haruslah didasarkan akan pengetahuan yang memadai tentan manfaat berkoperasi.

Agar anggota koperasi berkualitas baik, berkemampan tinggi dan berwawasan luas maka pendidikan adalah mutlak.

Pendidikan perkoperasian merupakan bagian yang tidak terpisahkan. dalam mewujudkan kehidupan berkoperasi agar sesuai dengan jati dirinya. Melalui pendidikan anggta dipersiapkan dan dibentuk untuk menjadi anggota yang memahami serta menghayati nilai-nilai dan prinsip serta praktik koperasi.

g. Kerja sama antar koperasi

Koperasi-koperasi ada yang mempunyai bidang usaha yang sama dan ada pula usaha yang berbeda serta tingkatan yang berbeda. Pada masing-masing usaha tersebut disadari bahwa kemampuan koperasi masih bervariasi, namun disadari bahwa koperasi tersebut pada dasarnya mengemban misi yang sama antara lain memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Untuk mencapai tujuan yang sama , masing-masing koperasi memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kerja sama antar koperasi dimaksudkan untuk saling memanfaatkan kelebihan dan menghilangkan kelemhan masing-masing sehingga hasil akhir dapat dicapai secara optimal. Kerja sama tersebut dapat diharapkan akan saling menunjang pendayagunaan sumberdaya sehingga diperolah hasil yang lebih optimal.

DEREGULASI PERBANKAN



DEREGULASI perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun lalu. Kesan
bongkar pasang itu tak terhindarkan. Bahkan, dari dampak yang kini
terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa
aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman
negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.

Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat
beberapa hal. Di antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank
untuk menentukan suku bunga deposito. Kemudian dihapusnya campur
tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit. Deregulasi ini
juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk
merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa
mendatang.

Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
yang terkenal itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling
liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan.
Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha
bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang
baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan
bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional
diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana
BUMN oleh bank-bank milik negara dihapuskan.

Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena
persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan
berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah bank di Indonesia.

Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja,
mobilisasi dana deposito dan tabungan jugase makin sengit.
Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi
keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet
menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkan Paket Februari
1991(Paktri) yang mendorong dimulainya proses globalisasi
perbankan.

Salah satu tugasnya adalah berupaya mengatur pembatasan dan
pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya
persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan. Yang
diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas
perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan
penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria
tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai
produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya
Bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.

Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang
disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang
itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu
menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan
kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal
pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan
asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank
baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru,
persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi,
permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan
kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.

Untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam
melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu
mengekang bank, pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei).
Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga
dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah
kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital
adiquacy ratio)-- atau perimbangan antara modal sendiri dan aset --
sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan
lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).

Aturan yang terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP)
No. 68 tahun 1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember
1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat
menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis
rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa ancang-ancang jika suatu
saat banknya sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.

(posting : http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/25/0126.html)

Kisruh Kasus BANK CENTURY

Kalau ngomongin tentang kasus bank century pasti ga akan ada habis nya. Mulai dari presiden, menteri, anggota DPR, politikus, sampe masyarakat awan hukum. Semua orang dibuat jadi geleng-geleng kepala dengan terbongkar nya kasus ini. Dimulai dari terbongkarnya reksadana yang diorbitkan oleh bank century, yang ternyata merupakan reksadana "bohong" alias reksadana yang dibuat tanpa seizin Bapepam. Reksadana yang bermasalah ini dijual dengan nama Investasi Dana Tetap Terproteksi dan dikeluarkan oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas. Hebatnya lagi, produk ini kabarnya sudah dijual sejak tahun 2001. Kini dikabarkan bahwa bahwa Rp 1 Triliun – Rp 1,5 Triliun milik nasabah bank Century terkena masalah seputar produk ini.

kasus ini juga ternyata jadi berkembang luas menjadi bola salju yang liar, yang paling teranyar adalah kasus yang menyeret Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Disinyalir oleh tim 8 ada keterkaitan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dengan kasus Bank Century. Kasus Century disinyalir menjadi background munculnya kasus yang menimpa dua pimpinan KPK nonaktif tersebut.

    univ. gunadarma

    univ. gunadarma
    my campus

    mawar hitam

    mawar hitam
    gw banget...

    dHEwi NuRUL ..

    dHEwi NuRUL ..
    me & mine

    what time it's, now...?

    fans gw nih...