A. Judul Program
SOP DAN APLIKASI E-CREDIT UNTUK MENDETEKSI ASSYMETRIC INFORMATION DI PASAR KREDIT BPR
B. Latar Belakang Masalah
Pasar kredit perbankan di Indonesia masih diwarnai dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, terutama setelah Bank Indonesia (BI) melalui Paket Juni 2005 memperketat ketentuan kolektibilitas sebuah kredit. Khusus untuk NPL kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan 51% dari total kredit perbankan hanya sebesar 2,09% (Retnadi,2006). Berlatar belakang kenyataan ini maka Bank Indonesia mendorong pengembangan kredit untuk membiayai UMKM sedangkan bagi bank yang tidak berkompeten dalam pembiayaan UMKM disarankan mengembangkan kredit konsumsi.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), terdapat 5 kelas kelas bank dalam struktur perbankan yaitu bank internasional dengan modal di atas Rp50 triliun, bank nasional dengan modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun, bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu dengan modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun, serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp100 miliar. Seiring dengan konsentrasi pengembangan kredit pada kredit UMKM dan kredit konsumsi, maka BI melalui Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat 2006 mencanangkan bahwa BPR menjadi salah satu pilar penting dalam sistem keuangan mikro Indonesia. Hal ini sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki BPR, yaitu BPR memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, proses yang cepat, dan skim kredit yang lebih fleksibel. Selain itu, BPR juga unggul dalam hal pelayanan kepada nasabah yang mengutamakan pendekatan personal dan ‘jemput bola’, lokasi kantor yang dekat dengan nasabah, serta lebih memahami ekonomi dan masyarakat setempat. Jika melihat data akhir bulan Juli 2006, rata-rata saldo tabungan, deposito dan kredit per rekening nasabah BPR adalah masing-masing sebesar Rp699 ribu, Rp29,5 juta dan Rp6,7 juta, maka secara implisit data tersebut mencerminkan karakteristik nasabah dan fokus layanan BPR pada masyarakat menengah kebawah serta para pengusaha mikro dan kecil (UMK).
Yang menjadi masalah adalah, jika dibandingkan dengan bank umum, NPL BPR lebih tinggi daripada NPL bank umum walaupun BPR memiliki Loan to Deposit Ratio (LDR) yang lebih baik dari bank umum. Selama periode tahun 2001 sampai dengan Juli 2006 rata-rata LDR BPR adalah 77,9% sedangkan Bank Umum hanya 47,7% (Gambar 1). Sebanyak 81,3% dari seluruh BPR di Indonesia memiliki rasio LDR diatas 70% (Gambar 2). Hal ini mengisyaratkan bahwa kemampuan BPR untuk menyalurkan dananya lebih baik dari pada Bank Umum. Namun secara historik, meskipun angka LDR BPR selalu diatas angka LDR Bank Umum, terlihat bahwa LDR BPR pada 3 tahun terakhir tidak mengalami perkembangan yang cukup baik bahkan mengalami sedikit penurunan. Sebaliknya, secara perlahan LDR Bank Umum justru memperlihatkan perkembangan yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan adanya kesulitan BPR untuk mengembangkan penyaluran kredit kepada masyarakat. Kemudian jika dilihat dari data NPL, pada periode tahun 2001 sampai dengan 2006 rata-rata NPL BPR mencapai 8,9% melebihi NPL Bank Umum yaitu 7,8% (Gambar 3). Sama halnya dengan LDR, hampir dikeseluruhan periode periode tahun 2001 s/d 2006, angka NPL BPR selalu berada di atas angka NPL Bank Umum. Bahkan selama 3 tahun terakhir, NPL BPR cenderung mengalami kenaikan. Hal ini berarti tingkat kegagalan kredit BPR relatif lebih tinggi di bandingkan dengan Bank Umum. Apakah tingginya tingkat kegagalan kredit ini menggambarkan adanya masalah asymmetric information pada pasar kredit BPR?
Gambar 1. Perkembangan LDR BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006
Gambar 2. Sebaran Rasio LDR BPR per Juli 2006
Gambar 3. Perkembangan NPL BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006
(Sumber : Bank Indonesia, Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006)
Data menunjukkan bahwa sekitar 12 juta dari 15 juta UMK berbadan hukum belum mendapatkan kredit perbankan (Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006). Selain itu, sebagian besar masyarakat pedesaan yang populasinya mencapai sekitar 56,5% dari total penduduk Indonesia belum tersentuh layanan perbankan (BPS, 2005). Hal ini merupakan potensi pasar sekaligus pekerjaan rumah tersendiri bagi BPR. Dengan karakteristik opersional BPR yang sederhana dan fleksibel karena mengutamakan pendekatan personal, BPR dianggap mampu menjadi solusi kendala keuangan UMK dan masyarakat pedesaan. Namun disisi lain, data yang menunjukkan bahwa LDR dan NPL BPR yang relatif tinggi dibandingkan dengan bank umum mengindikasikan bahwa BPR kurang hati-hati dalam menyalurkan dana kreditnya.
Alat analisis kredit yang dikembangkan berdasarkan prinsip 6C pun belum dipakai sepenuhnya sebagai alat pengumpulan informasi yang berguna untuk menilai kelayakan sebuah aplikasi kredit dan masih dilaksanakan secara manual. Sehingga efeisiensi prosedur kredit sulit dicapai sesuai dengan target penyaluran kredit dan kualitas kolektibilitas (lancar tidaknya ) kredit di pasar BPR.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Apakah terjadi Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Apakah terdapat pengaruh Asymetric information terhadap kelancaran maupun kegagalan kredit di BPR?
D. Tujuan Program
1. Menganalisa efisiensi prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Menguraikan keberadaan Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Menganalisa adanya pengaruh Asymetric information terhadap kegagalan kredit yang terjadi pada pasar kredit BPR?
Sesuai dengan keterbatasan tim, khsususnya dalam hal kemampuan, waktu dan biaya. Maka unit analisa pada program ini dibatasi hanya pada BPR yang yang berlokasi di sekitar kampus Universitas Gunadarma, Depok.
E. Luaran Yang Diharapkan
Berdasarkan rumusan dan tujuan di atas, hasil dari program ini adalah:
1. Gambaran informasi pasar kredit BPR di seputar jalan Margonda
2. Standar dan prosedur aplikasi kredit di BPR
3. Rancangan aplikasi e-kredit untuk BPR.
F. Kegunaan Program
Program kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Sebagai standar dan prosedur apliaksi kredit berbasis elektronik yang efisien.
2. Sebagai alternatif penjelasan bagi BPR mengenai sebab lancar atau gagalnya kredit.
3. Sebagai alternatif pertimbangan bagi BPR untuk mempertajam analisis kredit yang dapat mengurangi masalah adverse selection dan moral hazard sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit.
4. Sebagai alternatif pertimbangan bagi Bank Indonesia sebagai regulator perbankan untuk menentukan kebijakan yang lebih tepat mengenai analisis kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit perbankan nasional.
5. Sebagai kontribusi bagi ilmu pengetahuan, khususnya masalah adverse selection dan moral hazard, terutama pada pasar kredit perbankan skala kecil.
G. Tinjauan Pustaka
Asymmetric Information
Perjanjian kredit disusun sebagai landasan hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak penerima pinjaman (nasabah) dan pihak pemberi pinjaman (bank). Pada dasarnya nasabah berjanji untuk membayar pokok pinjaman ditambah sejumlah bunga yang telah ditetapkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Mengingat adanya ketidakpastian (uncertainty) yang melekat sebuah proyek, maka kemampuan nasabah membayar kreditnya juga diragukan. Untuk mengatasi hal ini maka harus ditentukan kemungkinan total pembayaran kredit nasabah dan penetapan suku bunga kredit sebagai konsekuensinya. Masalah lain, lemahnya janji nasabah untuk mematuhi perjanjian sangat sulit untuk diukur. Seorang analis kredit yang berpengalaman akan memperhatikan apakah seorang nasabah berusaha untuk membuat samar sifat dasar usaha yang dilakukannya, karena mengalihkan penggunaan dana kredit atau menyembunyikan hasil investasi yang sebenarnya. Isu ini dikenal dengan masalah asymmetric information. Konflik kepentingan akan muncul jika faktor-faktor ini mengganggu keuntungan bank.
Perjanjian kredit akan disepakati oleh bank dan nasabah jika keuntungan yang diharapkan (expected profit) pihak bank dan nasabah minimal setara atau lebih besar dari laba yang diharapkan dari investasi dana kredit tersebut pada proyek lainnya (participation constraint atau individual rationality constraint). Atau dengan kata lain, tidak ada pihak yang akan berpartisipasi dalam sebuah proyek dengan pendapatan yang diharapkan (expected return) negatif, atau dengan profit yang tidak mencapai nilai minimal expected profit, ditandai dengan kesempatan investasi lain yang akan hilang karena adanya investasi tersebut (opportunity cost atau required return).
Nilai yang diharapkan (Expected Value) dari sebuah proyek adalah :
..........(1)
Dimana :
adalah probabilitas sukses yang menyebabkan pembayaran kredit lancar
adalah probabilitas gagal yang menyebabkan pembayaran kredit terhenti
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika sukses
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika gagal
Jika bank dan nasabah memiliki akses terhadap informasi yang sama yang berkaitan dengan perjanjian kredit, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian direalisasikan dalam kondisi symmetric information. Namun sebaliknya, jika bank dan nasabah tidak memiliki akses terhadap informasi yang sama, maka perjanjian kredit disetujui kedua belah pihak dalam kondisi asymmetric information. Atau dengan kata lain, Nasabah memiliki informasi yang bank tidak peduli atau bank tidak memiliki akses untuk mendapatkannya. Masalah ini menjadi perhatian bank ketika nasabah dapat memanfaatkan informasi yang dimilikinya dengan memanfaatkan pengeluaran bank, yaitu :
1. Nasabah melanggar proyek kredit dengan cara menyembunyikan informasi mengenai karakteristik dan pendapatan usaha yang dijalankannya.
2. Bank tidak memiliki informasi yang cukup atau melakukan kontrol terhadap nasabah untuk menghindari kecurangan .
3. Terdapat risiko pembayaran kredit dan nasabah memiliki limited liability.
Adverse Selection
Pemberi pinjaman menderita adverse selection ketika tidak mampu membedakan nasabah/proyek berdasarkan risiko yang dimilikinya. Masalah adverse selection muncul sebelum nasabah menerima kredit. Perbedaan tingkat suku bunga, expected profit nasabah dan expected income bank dengan dan tanpa adverse selection. Ketika tidak terjadi adverse selection maka tingkat suku bunga untuk nasabah/proyek dengan risiko tinggi lebih tinggi dibanding dengan nasabah/proyek dengan risiko rendah kemudian bank menerima expected income yang sesuai. Tetapi ketika terjadi adverse selection, nasabah dengan tingkat risiko yang berbeda menerima tingkat suku bunga yang sama. Dari nasabah dengan proyek a, bank menerima expected income yang lebih besar dari yang seharusnya. Sebaliknya, dari nasabah dengan proyek b bank menerima expected income yang lebih kecil dari yang seharusnya. Dengan demikian, nasabah berisiko tinggi akan mendapatkan keuntungan lebih besar dalam kondisi imperfect information.
Moral Hazard
Kemampuan nasabah untuk menggunakan dananya untuk keperluan lain yang tidak sama seperti yang telah disepakati sebelumnya dengan bank. Bank tidak memiliki kemampuan untuk melakukan observasi karena keterbatasan informasi dan keterbatasan untuk melakukan kontrol terhadap nasabah.
Nasabah pasti akan meyakinkan bank bahwa akan memilih proyek h, dengan demikian akan dikenakan suku bunga yang lebih rendah dari pada memilih proyek l. Namun mengingat tanpa sepengetahuan bank, nasabah dapa mengalihkan penggunaan kredit ke proyek l yang menyebabkan bank memperoleh expected income yang lebih rendah, maka bank harus meyakinkan bahwa proyek h lebih menarik dari kacamata nasabah. Oleh karena itu bank harus memastikan bahwa (incentive compatibility constraint).
Dengan demikian, jika tingkat suku bunga ditetapkan dengan memenuhi persyaratan di atas, maka tidak terjadi moral hazard. Sebaliknya jika suku bunga ditentukan lebih dari persyaratan di atas, maka nasabah akan tertarik untuk mengalihkan menjalani proyek l dengan berpura-pura akan menjalani proyek h untuk mendapatkan suku bunga yang lebih rendah.
BPR
Landasan Hukum BPR adalah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah gdiubah dengan UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR sebagai satu jenis bank yang kegiatan usahanya terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya BPR dapat menjalankan usahanya secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.
Kegiatan usaha yang diperkenankan dilakukan oleh BPR sangat terbatas dibandingkan dengan Bank Umum, yaitu hanya meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, memberikan kredit serta menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/ atau
Dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan serta memberikan arah dan strategi perbankan ke depan maka disusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan di Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu sampai sepuluh tahun berlandaskan visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai visi tersebut, salah satu sasaran yang ingin dicapai yaitu menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat tercapai struktur perbankan yang terdiri dari empat strata bank yaitu bank internasional yang memiliki kapasitas dan kemampuan beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp50 triliun; bank nasional yang memiliki cakupan usaha sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun; bank dengan fokus usaha tertentu yaitu bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank serta memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun; serta BPR dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar. Dalam rangka mencapai visi tersebut di atas, program-program API telah memberikan perhatian pada perlunya penguatan permodalan, kelembagaan dan manajemen BPR, serta penyempurnaan pengaturan dan pengawasan BPR.
Selama ini, sebagian besar pengusaha mikro dan kecil serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan baik dari aspek pembiayaan maupun penyimpanan dana. Adapun lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut adalah BPR dengan pertimbangan:
a. BPR merupakan lembaga intermediasi sesuai dengan UU Perbankan.
b. BPR merupakan lembaga keuangan yang diatur dan diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia.
c. Adanya penjaminan oleh LPS atas dana masyarakat yang disimpan di BPR.
d. BPR berlokasi di sekitar UMK dan masyarakat pedesaan, serta memfokuskan pelayanannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
e. BPR memiliki karakteristik operasional yang spesifik yang memungkinkan BPR dapat menjangkau dan melayani UMK dan masyarakat pedesaan.
Dari uraian di atas, maka kerangka program kegiatan dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4. Kerangka Programi
H. Metode Program
Survei dan eksperimen terhadap BPR akan dilakukan dengan prosedur penetapan BPR sebagai unit amatan. Data bulan Juli 2006 menunjukkan terdapat 1935 BPR di Indonesia (Cetak Biru BPR, 2006). Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya mengharuskan tim membatasi BPR yang akan menjadi unit amatan.
Secara rinci kriteria yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
1. BPR berlokasi di seputar Jl. Margonda raya (seputar Kampus Universitas Gunadarma, Depok).
2. BPR anggota asosiasi BPR yaitu Perbarindo (Perhimpunan BPR Indonesia). Dalam Cetak Biru BPR (2006), BI mencanangkan Perbarindo sebagai infrastruktur penting yang dibentuk dalam rangka meningkatkan kinerja dan pengembangan BPR. Oleh karena itu, untuk mempermudah akses perolehan data, BPR yang menjadi objek penelitian adalah BPR yang menjadi anggota Perbarindo.
3. BPR sudah menyerahkan laporan keuangan ke Perbarindo.
Sebelum masuk pada pembatasan dengan kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan BPR, hal yang harus diperhatikan adalah kemungkinan perolehan data. Dalam hal ini, BI sebagai pihak yang memiliki data lengkap tidak dapat memberikan data dengan alasan kerahasiaan data. Namun demikian, pada tahun 2005 Perbarindo menerbitkan buku Direktori Perbarindo yang berisi daftar BPR anggota Perbarindo. Di dalam buku tersebut juga tercantum laporan keuangan secara singkat. Sehingga pemilihan BPR yang memenuhi kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan hanya dapat dilakukan terhadap BPR yang laporan keuangannya tercantum dalam buku Direktori Perbarindo 2005.
4. Menganalisa aplikasi kredit sebagai sumber data dari nasabah semua BPR amatan
5. Mengamati prosedur aplikasi kredit dari awal, proses sampai dengan keputusan setiap aplikasi kredit di BPR amatan
6. merancang output aplikasi e-kredit untuk BPR.
7. Implementasi Rancangan output apliaksi e-kredit untuk BPR.
I. Jadwal Kegiatan Program
a) Jadwal Kegiatan Program
b) Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok
c) Nama dan Biodata Dosen Pendamping
d) Biaya
e) Daftar Pustaka (untuk PKMP dan PKMT)
f) Lampiran
SOP DAN APLIKASI E-CREDIT UNTUK MENDETEKSI ASSYMETRIC INFORMATION DI PASAR KREDIT BPR
B. Latar Belakang Masalah
Pasar kredit perbankan di Indonesia masih diwarnai dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, terutama setelah Bank Indonesia (BI) melalui Paket Juni 2005 memperketat ketentuan kolektibilitas sebuah kredit. Khusus untuk NPL kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan 51% dari total kredit perbankan hanya sebesar 2,09% (Retnadi,2006). Berlatar belakang kenyataan ini maka Bank Indonesia mendorong pengembangan kredit untuk membiayai UMKM sedangkan bagi bank yang tidak berkompeten dalam pembiayaan UMKM disarankan mengembangkan kredit konsumsi.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), terdapat 5 kelas kelas bank dalam struktur perbankan yaitu bank internasional dengan modal di atas Rp50 triliun, bank nasional dengan modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun, bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu dengan modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun, serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp100 miliar. Seiring dengan konsentrasi pengembangan kredit pada kredit UMKM dan kredit konsumsi, maka BI melalui Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat 2006 mencanangkan bahwa BPR menjadi salah satu pilar penting dalam sistem keuangan mikro Indonesia. Hal ini sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki BPR, yaitu BPR memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, proses yang cepat, dan skim kredit yang lebih fleksibel. Selain itu, BPR juga unggul dalam hal pelayanan kepada nasabah yang mengutamakan pendekatan personal dan ‘jemput bola’, lokasi kantor yang dekat dengan nasabah, serta lebih memahami ekonomi dan masyarakat setempat. Jika melihat data akhir bulan Juli 2006, rata-rata saldo tabungan, deposito dan kredit per rekening nasabah BPR adalah masing-masing sebesar Rp699 ribu, Rp29,5 juta dan Rp6,7 juta, maka secara implisit data tersebut mencerminkan karakteristik nasabah dan fokus layanan BPR pada masyarakat menengah kebawah serta para pengusaha mikro dan kecil (UMK).
Yang menjadi masalah adalah, jika dibandingkan dengan bank umum, NPL BPR lebih tinggi daripada NPL bank umum walaupun BPR memiliki Loan to Deposit Ratio (LDR) yang lebih baik dari bank umum. Selama periode tahun 2001 sampai dengan Juli 2006 rata-rata LDR BPR adalah 77,9% sedangkan Bank Umum hanya 47,7% (Gambar 1). Sebanyak 81,3% dari seluruh BPR di Indonesia memiliki rasio LDR diatas 70% (Gambar 2). Hal ini mengisyaratkan bahwa kemampuan BPR untuk menyalurkan dananya lebih baik dari pada Bank Umum. Namun secara historik, meskipun angka LDR BPR selalu diatas angka LDR Bank Umum, terlihat bahwa LDR BPR pada 3 tahun terakhir tidak mengalami perkembangan yang cukup baik bahkan mengalami sedikit penurunan. Sebaliknya, secara perlahan LDR Bank Umum justru memperlihatkan perkembangan yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan adanya kesulitan BPR untuk mengembangkan penyaluran kredit kepada masyarakat. Kemudian jika dilihat dari data NPL, pada periode tahun 2001 sampai dengan 2006 rata-rata NPL BPR mencapai 8,9% melebihi NPL Bank Umum yaitu 7,8% (Gambar 3). Sama halnya dengan LDR, hampir dikeseluruhan periode periode tahun 2001 s/d 2006, angka NPL BPR selalu berada di atas angka NPL Bank Umum. Bahkan selama 3 tahun terakhir, NPL BPR cenderung mengalami kenaikan. Hal ini berarti tingkat kegagalan kredit BPR relatif lebih tinggi di bandingkan dengan Bank Umum. Apakah tingginya tingkat kegagalan kredit ini menggambarkan adanya masalah asymmetric information pada pasar kredit BPR?
Gambar 1. Perkembangan LDR BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006
Gambar 2. Sebaran Rasio LDR BPR per Juli 2006
Gambar 3. Perkembangan NPL BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006
(Sumber : Bank Indonesia, Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006)
Data menunjukkan bahwa sekitar 12 juta dari 15 juta UMK berbadan hukum belum mendapatkan kredit perbankan (Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006). Selain itu, sebagian besar masyarakat pedesaan yang populasinya mencapai sekitar 56,5% dari total penduduk Indonesia belum tersentuh layanan perbankan (BPS, 2005). Hal ini merupakan potensi pasar sekaligus pekerjaan rumah tersendiri bagi BPR. Dengan karakteristik opersional BPR yang sederhana dan fleksibel karena mengutamakan pendekatan personal, BPR dianggap mampu menjadi solusi kendala keuangan UMK dan masyarakat pedesaan. Namun disisi lain, data yang menunjukkan bahwa LDR dan NPL BPR yang relatif tinggi dibandingkan dengan bank umum mengindikasikan bahwa BPR kurang hati-hati dalam menyalurkan dana kreditnya.
Alat analisis kredit yang dikembangkan berdasarkan prinsip 6C pun belum dipakai sepenuhnya sebagai alat pengumpulan informasi yang berguna untuk menilai kelayakan sebuah aplikasi kredit dan masih dilaksanakan secara manual. Sehingga efeisiensi prosedur kredit sulit dicapai sesuai dengan target penyaluran kredit dan kualitas kolektibilitas (lancar tidaknya ) kredit di pasar BPR.
C. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Apakah terjadi Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Apakah terdapat pengaruh Asymetric information terhadap kelancaran maupun kegagalan kredit di BPR?
D. Tujuan Program
1. Menganalisa efisiensi prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Menguraikan keberadaan Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Menganalisa adanya pengaruh Asymetric information terhadap kegagalan kredit yang terjadi pada pasar kredit BPR?
Sesuai dengan keterbatasan tim, khsususnya dalam hal kemampuan, waktu dan biaya. Maka unit analisa pada program ini dibatasi hanya pada BPR yang yang berlokasi di sekitar kampus Universitas Gunadarma, Depok.
E. Luaran Yang Diharapkan
Berdasarkan rumusan dan tujuan di atas, hasil dari program ini adalah:
1. Gambaran informasi pasar kredit BPR di seputar jalan Margonda
2. Standar dan prosedur aplikasi kredit di BPR
3. Rancangan aplikasi e-kredit untuk BPR.
F. Kegunaan Program
Program kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Sebagai standar dan prosedur apliaksi kredit berbasis elektronik yang efisien.
2. Sebagai alternatif penjelasan bagi BPR mengenai sebab lancar atau gagalnya kredit.
3. Sebagai alternatif pertimbangan bagi BPR untuk mempertajam analisis kredit yang dapat mengurangi masalah adverse selection dan moral hazard sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit.
4. Sebagai alternatif pertimbangan bagi Bank Indonesia sebagai regulator perbankan untuk menentukan kebijakan yang lebih tepat mengenai analisis kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit perbankan nasional.
5. Sebagai kontribusi bagi ilmu pengetahuan, khususnya masalah adverse selection dan moral hazard, terutama pada pasar kredit perbankan skala kecil.
G. Tinjauan Pustaka
Asymmetric Information
Perjanjian kredit disusun sebagai landasan hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak penerima pinjaman (nasabah) dan pihak pemberi pinjaman (bank). Pada dasarnya nasabah berjanji untuk membayar pokok pinjaman ditambah sejumlah bunga yang telah ditetapkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Mengingat adanya ketidakpastian (uncertainty) yang melekat sebuah proyek, maka kemampuan nasabah membayar kreditnya juga diragukan. Untuk mengatasi hal ini maka harus ditentukan kemungkinan total pembayaran kredit nasabah dan penetapan suku bunga kredit sebagai konsekuensinya. Masalah lain, lemahnya janji nasabah untuk mematuhi perjanjian sangat sulit untuk diukur. Seorang analis kredit yang berpengalaman akan memperhatikan apakah seorang nasabah berusaha untuk membuat samar sifat dasar usaha yang dilakukannya, karena mengalihkan penggunaan dana kredit atau menyembunyikan hasil investasi yang sebenarnya. Isu ini dikenal dengan masalah asymmetric information. Konflik kepentingan akan muncul jika faktor-faktor ini mengganggu keuntungan bank.
Perjanjian kredit akan disepakati oleh bank dan nasabah jika keuntungan yang diharapkan (expected profit) pihak bank dan nasabah minimal setara atau lebih besar dari laba yang diharapkan dari investasi dana kredit tersebut pada proyek lainnya (participation constraint atau individual rationality constraint). Atau dengan kata lain, tidak ada pihak yang akan berpartisipasi dalam sebuah proyek dengan pendapatan yang diharapkan (expected return) negatif, atau dengan profit yang tidak mencapai nilai minimal expected profit, ditandai dengan kesempatan investasi lain yang akan hilang karena adanya investasi tersebut (opportunity cost atau required return).
Nilai yang diharapkan (Expected Value) dari sebuah proyek adalah :
..........(1)
Dimana :
adalah probabilitas sukses yang menyebabkan pembayaran kredit lancar
adalah probabilitas gagal yang menyebabkan pembayaran kredit terhenti
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika sukses
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika gagal
Jika bank dan nasabah memiliki akses terhadap informasi yang sama yang berkaitan dengan perjanjian kredit, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian direalisasikan dalam kondisi symmetric information. Namun sebaliknya, jika bank dan nasabah tidak memiliki akses terhadap informasi yang sama, maka perjanjian kredit disetujui kedua belah pihak dalam kondisi asymmetric information. Atau dengan kata lain, Nasabah memiliki informasi yang bank tidak peduli atau bank tidak memiliki akses untuk mendapatkannya. Masalah ini menjadi perhatian bank ketika nasabah dapat memanfaatkan informasi yang dimilikinya dengan memanfaatkan pengeluaran bank, yaitu :
1. Nasabah melanggar proyek kredit dengan cara menyembunyikan informasi mengenai karakteristik dan pendapatan usaha yang dijalankannya.
2. Bank tidak memiliki informasi yang cukup atau melakukan kontrol terhadap nasabah untuk menghindari kecurangan .
3. Terdapat risiko pembayaran kredit dan nasabah memiliki limited liability.
Adverse Selection
Pemberi pinjaman menderita adverse selection ketika tidak mampu membedakan nasabah/proyek berdasarkan risiko yang dimilikinya. Masalah adverse selection muncul sebelum nasabah menerima kredit. Perbedaan tingkat suku bunga, expected profit nasabah dan expected income bank dengan dan tanpa adverse selection. Ketika tidak terjadi adverse selection maka tingkat suku bunga untuk nasabah/proyek dengan risiko tinggi lebih tinggi dibanding dengan nasabah/proyek dengan risiko rendah kemudian bank menerima expected income yang sesuai. Tetapi ketika terjadi adverse selection, nasabah dengan tingkat risiko yang berbeda menerima tingkat suku bunga yang sama. Dari nasabah dengan proyek a, bank menerima expected income yang lebih besar dari yang seharusnya. Sebaliknya, dari nasabah dengan proyek b bank menerima expected income yang lebih kecil dari yang seharusnya. Dengan demikian, nasabah berisiko tinggi akan mendapatkan keuntungan lebih besar dalam kondisi imperfect information.
Moral Hazard
Kemampuan nasabah untuk menggunakan dananya untuk keperluan lain yang tidak sama seperti yang telah disepakati sebelumnya dengan bank. Bank tidak memiliki kemampuan untuk melakukan observasi karena keterbatasan informasi dan keterbatasan untuk melakukan kontrol terhadap nasabah.
Nasabah pasti akan meyakinkan bank bahwa akan memilih proyek h, dengan demikian akan dikenakan suku bunga yang lebih rendah dari pada memilih proyek l. Namun mengingat tanpa sepengetahuan bank, nasabah dapa mengalihkan penggunaan kredit ke proyek l yang menyebabkan bank memperoleh expected income yang lebih rendah, maka bank harus meyakinkan bahwa proyek h lebih menarik dari kacamata nasabah. Oleh karena itu bank harus memastikan bahwa (incentive compatibility constraint).
Dengan demikian, jika tingkat suku bunga ditetapkan dengan memenuhi persyaratan di atas, maka tidak terjadi moral hazard. Sebaliknya jika suku bunga ditentukan lebih dari persyaratan di atas, maka nasabah akan tertarik untuk mengalihkan menjalani proyek l dengan berpura-pura akan menjalani proyek h untuk mendapatkan suku bunga yang lebih rendah.
BPR
Landasan Hukum BPR adalah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah gdiubah dengan UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR sebagai satu jenis bank yang kegiatan usahanya terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya BPR dapat menjalankan usahanya secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.
Kegiatan usaha yang diperkenankan dilakukan oleh BPR sangat terbatas dibandingkan dengan Bank Umum, yaitu hanya meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, memberikan kredit serta menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/ atau
Dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan serta memberikan arah dan strategi perbankan ke depan maka disusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan di Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu sampai sepuluh tahun berlandaskan visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai visi tersebut, salah satu sasaran yang ingin dicapai yaitu menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat tercapai struktur perbankan yang terdiri dari empat strata bank yaitu bank internasional yang memiliki kapasitas dan kemampuan beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp50 triliun; bank nasional yang memiliki cakupan usaha sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun; bank dengan fokus usaha tertentu yaitu bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank serta memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun; serta BPR dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar. Dalam rangka mencapai visi tersebut di atas, program-program API telah memberikan perhatian pada perlunya penguatan permodalan, kelembagaan dan manajemen BPR, serta penyempurnaan pengaturan dan pengawasan BPR.
Selama ini, sebagian besar pengusaha mikro dan kecil serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan baik dari aspek pembiayaan maupun penyimpanan dana. Adapun lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut adalah BPR dengan pertimbangan:
a. BPR merupakan lembaga intermediasi sesuai dengan UU Perbankan.
b. BPR merupakan lembaga keuangan yang diatur dan diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia.
c. Adanya penjaminan oleh LPS atas dana masyarakat yang disimpan di BPR.
d. BPR berlokasi di sekitar UMK dan masyarakat pedesaan, serta memfokuskan pelayanannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
e. BPR memiliki karakteristik operasional yang spesifik yang memungkinkan BPR dapat menjangkau dan melayani UMK dan masyarakat pedesaan.
Dari uraian di atas, maka kerangka program kegiatan dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4. Kerangka Programi
H. Metode Program
Survei dan eksperimen terhadap BPR akan dilakukan dengan prosedur penetapan BPR sebagai unit amatan. Data bulan Juli 2006 menunjukkan terdapat 1935 BPR di Indonesia (Cetak Biru BPR, 2006). Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya mengharuskan tim membatasi BPR yang akan menjadi unit amatan.
Secara rinci kriteria yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
1. BPR berlokasi di seputar Jl. Margonda raya (seputar Kampus Universitas Gunadarma, Depok).
2. BPR anggota asosiasi BPR yaitu Perbarindo (Perhimpunan BPR Indonesia). Dalam Cetak Biru BPR (2006), BI mencanangkan Perbarindo sebagai infrastruktur penting yang dibentuk dalam rangka meningkatkan kinerja dan pengembangan BPR. Oleh karena itu, untuk mempermudah akses perolehan data, BPR yang menjadi objek penelitian adalah BPR yang menjadi anggota Perbarindo.
3. BPR sudah menyerahkan laporan keuangan ke Perbarindo.
Sebelum masuk pada pembatasan dengan kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan BPR, hal yang harus diperhatikan adalah kemungkinan perolehan data. Dalam hal ini, BI sebagai pihak yang memiliki data lengkap tidak dapat memberikan data dengan alasan kerahasiaan data. Namun demikian, pada tahun 2005 Perbarindo menerbitkan buku Direktori Perbarindo yang berisi daftar BPR anggota Perbarindo. Di dalam buku tersebut juga tercantum laporan keuangan secara singkat. Sehingga pemilihan BPR yang memenuhi kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan hanya dapat dilakukan terhadap BPR yang laporan keuangannya tercantum dalam buku Direktori Perbarindo 2005.
4. Menganalisa aplikasi kredit sebagai sumber data dari nasabah semua BPR amatan
5. Mengamati prosedur aplikasi kredit dari awal, proses sampai dengan keputusan setiap aplikasi kredit di BPR amatan
6. merancang output aplikasi e-kredit untuk BPR.
7. Implementasi Rancangan output apliaksi e-kredit untuk BPR.
I. Jadwal Kegiatan Program
a) Jadwal Kegiatan Program
b) Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok
c) Nama dan Biodata Dosen Pendamping
d) Biaya
e) Daftar Pustaka (untuk PKMP dan PKMT)
f) Lampiran