KONTRIBUSI KOPERASI TERHADAP UMKM


PDF

Mencermati banyaknya jumlah pelaku usaha mitro, kecil dan menengah (UMKM) yang mencapai 50 juta lebih, sangat potensi untuk mengatasi kemiskinan di negeri ini. Jumlah mereka sesuai data BPS pada 2008 mencapai 31,5 juta jiwa dari jumlah penduduk. Bukan tidak mungkin jumlah tersebut akan menipis dun bahkan habis jika pemerintah seriusmemberdayakan pelaku UMKM.

Asumsinya, jika mereka mampu tumbuh dan berkembang dipastikan membutuhkan tenaga kerja. Sendainya satu unit usaha memerlukan dua tenaga kerja saja, akan tertampung sebanyak 100 juta orang. Kalau lebih, otomatis tenaga kerja yang terserap akan lebih banyak lagi. Berarti pengangguran yang sesuai data di Kementerian Daerah Tertinggal seperti dilansir media masa berjumlah sekitar 9,2 juta orang akan terus berkurang. Dengan demikian kemiskinan perlahan-lahan lenyap dari bumi Zamrud Khatulistiwa ini. Mengingat tidak ada lagi orang usia produktif yang menganggur, sehingga kesejahteraan yang didambakan semua pihak akan tercapai.

Sayang, keberadaan usaha mereka barangkali masih biasa-biasa saja dan belum berkembang sehingga kegiatan usaha-usaha itu dilakukan sendiri oleh pelakunya, alias belum melibatkan tenaga orang lain. Kenyataanya, meski jumlahnya besar tetapi pengangguran hingga detik ini tetap banyak. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada kuartal pertama periode 2009 ini mencatat jumlah tenaga kerja yang di PHK mencapai 250 ribu orang. Jumlah tersebut ditengarai terus bertambah, seiring masih derasnya arus pengurangan tenaga kerja, dan bahkan total pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan-perusahaan yang bangkrut ataupun merelokasikannya ke luar negeri.

Singkatnya, meski mereka banyak yang berhasil menciptakan lapangan pekerjaan untuk dirinya dengan membuka usaha atau sekadar menjadi pemulung, tetapi banyak yang gagal menemukan kesibukan karena dipengaruhi banyak faktor. Semisal ketiadaan atau keterbatasan modal yang dimiliki, minim kemampuan untuk berwirausaha dan gagal menjalankan usahanya akibat dagangannya dirampas/digusur petugas ketertiban karena berjualan di tempat-tempat yang dianggap manganggu ketertiban umum.

Melihat ilustrasi tersebut tidaklah keliru pemerintah sepanjang periode terus mencanangkan akan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hanya saja formulasi yang diterapkan mungkin belum pas atau masih menggunakan model lain. Padahal jika komitmen memprioritaskan perhatiannya lebih besar lagi pada sektor UMKM permasalahan yang melilit bangsa berupa kemiskinan akan teratasi. Salah satunya dengan menyediakan permodalan yang mudah diakses pelaku usaha. Jika program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bertujuan membantu pelaku usaha kecil dan mikro mendapatkan permodalan, namun dalam prakteknya yang sudah berjalan dua tahun masih menemui kendala, faktanya mereka masih kesulitan mengakses akibat peraturan perbankan yang ketat. Tentu tidak ada salahnya menggunakan formula atau skema baru dan melibatkan Koperasi jasa keuangan (KJK) yang terdiri Koperasi simpan pinjam (KSP), unit-unit simpan pinjam (USP) milik Koperasi dan Koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) serta unit- unit Koperasi jasa keuangan syariah (UJKS) yang banyak dimiliki Koperasi konvensional. Dengan memberikan dukungan kesediaan likuiditas agar peran mereka kuat dalam melayani pinjaman pada anggota/calon anggota yang notabene pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

Masyarakat juga tidak memungkiri upaya- upaya pemberdayaan terus dilakukan pemerintah selama ini, baik berupa kredit program maupun yang diberikan langsung kepada warga miskin, tetapi hal tersebut dirasakan masih kurang. Buktinya, kemiskinan yang diantaranya disebabkan karena menganggur masih mudah ditemukan di berbagai daerah. Dengan kata lain, kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk memberdayakan sektor Koperasi dan UMKM belum maksimal, bahkan belum cukup adil dibanding yang diberikan kepada pelaku ekonomi lainnya. Semisal untuk menyelamatkan Bank Century yang hanya dimiliki beberapa orang saja, pemerintah cepat menggelontorkan dana mencapai Rp 6,7 triliun. Sementara untuk membantu perkuatan permodalan di sektor Koperasi dan UMKM selama beberapa tahun terakhir jumlahnya masih relatif kecil. Contohnya kredit program pemberdayaan dan pembinaan untuk Koperasi dan UMKM yang ditangani Kementerian Negara Koperasi dan UKM, baik dikucurkan langsung maupun melalui bank-bank pelaksana sejak 2001-2007 jumlahnya baru mencapai sekitar Rp 3,2 triliun, padahal dana tesebut telah dimanfaatkan oleh puluhan ribu pelaku UMKM.

Nah, seiring bergulirnya pemerintahan yang murni pilihan rakyat, diharapkan akan pro juga terhadap rakyat, khususnya kalangan akar rumput (grassroots) yang mendambakan kesejahteraan menjadi kenyataan. Pemerintahan presiden SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatu II ini akan menunaikan janjinya saat kampanye dan ditekankan lagi saat pelantikan. Diantaranya akan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Wajar kalau masyarakat terus menunggu gebrakan berpihak tersebut, terutama dalam masa kerja 100 hari seperti apa komitmennya.

Peran Koperasi Dioptimalkan

Apakah keberpihakan itu bakal diwujudkan, nampaknya sinyal ke arah sana makin terasakan. Paling tidak kabar menggembirakan itu telah diucapkan Wakil Presiden Boediono saat membuka seminar One Product One Village (OYOP) di Bali pada 14 Nopember lalu. Bahwa pemerintah akan melibatkan Koperasi sebagai wadah untuk menampung dan mengembangkan hasil produksi sektor UKM. Alasannya lembaga yang menampungnya selama ini masih sangat terbatas. Karenanya, pemerintah memilih lembaga yang cocok untuk menyokong pembiayaan dan pemasaran hasil UKM tersebut yakni Koperasi. Menurut Wapres, Koperasi lebih mudah dijangkau oleh pegiat UKM. Hanya diimbuhkan Boediono jaringan di antara mereka harus solid, sebab selama ini dipandangnya kadang tidak jalan. "Produk UKM harus diperluas jaringan pasarnya, bahkan hingga ke luar negeri," tuturnya. Kuncinya tambah mantan Gubemur BI ini, link pasar lebih luas ke kota-kota di Indonesia hingga manca negara. Selain itu juga harus sinergi antara desain dan teknologinya.

Sebelumnya, Menteri Negara Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakomas) di Jakarta pada 10 Nopember juga menegaskan koperasi dan UMKM memiliki peran strategis yang berkaitan langsung dengan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan rakyat adalah nyata. Mereka juga telah terbukti menjadi penopang kekuatan dan pertumbuhan ekonomi.

Faktanya sesuai data selama 2004-2009 dampak positif atas perkembangan Koperasi dan UMKM. Terutamanya dalam penyerapan tenaga kerja sektor Koperasi menampung sekitar 23,39%, sektor UMKM yang berjumlah sekitar 51,2 juta unit usaha atau 99,98% dari total pelaku ekonomi nasional, kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 97,04% dari total tenaga kerja yang terserap. Demikian kontribusi terhadap PDB juga lumayan tinggi yakni mencapai 55,56% dari total PDB nasional. Bukti lainnya adalah memiliki nilai ekspor non migas mencapai 20,17% dan investasi 52,09%, sehingga dengan kemampuan tersebut telah ikut mendorong pertumbuhan lokal dan nasional.

Untuk itu dalam program kerja 100 hari Kementerian Negara Koperasi dan UKM akan terus mengupayakan pemberdayaan terhadap Koperasi, salah satunya akan merekomendasikan agar Koperasi diberikan kesempatan sebagai penyalur KUR untuk anggotanya.

PR Sumber : Nasari News

PERKEMBANGAN KOPERASI


PERKEMBANGAN KOPERASI

DI DUNIA DAN INDONESIA


Latar Belakang

1. Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.

2. Pada saat ini dengan globalisasi dan runtuhnya perekonomian sosialis di Eropa Timur serta terbukanya Afrika, maka gerakan koperasi di dunia telah mencapai suatu status yang menyatu di seluruh dunia. Dimasa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok politik/ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering dengan pengertian berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan koperasi belum mendapat kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya Revolusi ILO-127 tahun 1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan dengan tekanan pada saat itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana promosi kesejahteraan masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental dengan sebutan kaum buruh. Sehingga syarat yang ditekankan bagi keanggotaan koperasi adalah “Kemampuan untuk memanfaatkan jasa koperasi”. Dalam hal ini resolusi tersebut telah mendorong tumbuhnya program-program pengembangan koperasi yang lebih sistematis dan digalang secara internasional.

3. Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres ICA di Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan agar koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan Tokyo melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut “established for last”.

4. Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi di Manchester Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan globalisasi. Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang globalisasi dan liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh gerakan koperasi dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi sebagai “enterprise” dicantumkan secara eksplisit. Dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah koperasi lembaga bisnis atau lembaga “quasi-sosial”. Dan sejak itu semangat untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai sistim ekonomi yang semula tertutup kini terbuka.

Catatan awal : “Dari sini dapat ditarik catatan bahwa koperasi berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi perdagangan bukan musuh koperasi”.

5. Di kawasan Asia Pasifik hal serupa ini juga terjadi sehingga pada tahun 1990 diadakan Konferensi Pertama Para Menteri-Menteri yang bertanggung jawab dibidang koperasi di Sydney, Australia. Pertemuan ini adalah kejadian kali pertama untuk menjembatani aspirasi gerakan koperasi yang dimotori oleh ICA-Regional Office of The Asian dan Pacific dengan pemerintah. Pertemuan ini telah melicinkan jalan bagi komunikasi dua arah dan menjadi pertemuan regional yang reguler setelah Konferensi ke II di Jakarta pada tahun 1992. Pesan Jakarta yang terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan koperasi terjadi karena kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi, namun harus diingat program bersama tidak harus mematikan inisiatif dan kemurnian koperasi. Pesan kedua adalah kerjasama antara koperasi dan swasta (secara khusus disebut penjualan saham kepada koperasi) boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan erosi pada prinsip dan nilai dasar koperasi.

Pengalaman Koperasi Di Indonesia

6. Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.

7. Selama ini “koperasi” di­kem­bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar ba­gi penduduk Indonesia. Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pem­bangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang se­lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pem­bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).

Pengalaman Umum Kemajuan Koperasi : Mencari Determinan

8. Sejarah kelahiran koperasi di dunia yang melahirkan model-model keberhasilan umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti yang terjadi di Perancis dan Belanda kemudian produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun ketika koperasi-koperasi tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan bahwa pendapatan anggota yang digambarkan oleh masyarakat pada umumnya telah melewati garis kemiskinan. Contoh pada saat Revolusi Industri pendapatan/anggota di Inggris sudah berada pada sekitar US$ 500,- atau di Denmark pada saat revolusi pendidikan dimulai pendapatan per kapita di Denmark berada pada kisaran US$ 350,-. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen mampu menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.

Syarat 1 : "Skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi".

9. Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit.

Syarat 2 : "Harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi".

10. Di manapun baik di negara berkembang maupun di negara maju kita selalu disuguhkan contoh koperasi yang berhasil, namun ada kesamaan universal yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu, selalu menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara spesial terdapat contoh yang lain seperti produsen gandum di daratan Australia, produsen kedele di Amerika Utara dan Selatan hingga petani tebu di India yang menyamai kartel produsen. Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di negara maju dan berkembang nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.

Syarat 3 : "Posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi".

11. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, transparansi struktural tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara rill telah naik ketika pengangguran meluas sehingga terjadi Lompatan ke sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal (Oshima, 1982). Oleh karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama disektor perdagangan seperti warung dan pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.

12. Koperasi selain sebagai organisasi ekonomi juga merupakan organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang oleh tingkat pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol sosial yang menjadi syarat berlangsungnya pengawasan oleh anggota koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi juga didasari oleh tingkat perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana diperlukan koperasi. Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan karena rata-rata pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan teknologi informasi telah turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.

Syarat 4 : “Pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)”.

Potret Koperasi Indonesia

13. Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.

14. Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter­sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan (Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan mengelola KUD (Revolusi penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).

15. Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

16. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini berkembang jasa lainnya.

17. Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.

Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah

18. Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan mem­berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum­ber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun kope­rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif de­ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves­tasi dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo­kasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa­da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung­si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.

19. Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang sentralistik mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.

20. Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha­dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre­dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demi­kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae­rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah dalam bentuk patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi pengem­bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me­num­buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope­rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.

21. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem­bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo­rong pengem­bang­an lembaga penjamin kredit di daerah.

22. Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat). Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional.

Penutup

23. Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh koperasi di Indonesia.

24. Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.

DAFTAR BACAAN

1. Couture, M-F, D. Faber, M. Larim, A-B. Nippierd : Transition to Cooperative Entrepreneurship, ILO and University of Nyeurode, of Nyenrode, Genewa, 2002.

2. Ravi Shankar and Garry Conan : Second Critical Study on Cooperative Legislation and policy Reform, ICA, RAPA, New Delhi, 2002.

3. Mubyarto ; Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000.

4. Noer Soetrisno : Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat, Instrans, Jakarta 2001.

5. Oshima, Harry T ; The Development of Service Sector in Asia; Mimeo, UPSE-Diliman, Philippines, June 1982.

6. Rusidi, Prof. Dr. Ir. MS dan Maman Suratman, Drs. MSi : Bunga Rampai 20 Pokok Pemikiran Tentang Koperasi, Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Bandung, 2002.


(http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/PAS.SURUT.PERK.KOPERASI-Yog.htm)

kutipan wawancara Susno Duadji dengan wartawan Tempo

Buat temen2 yang belum sempet nonton tv or baca koran, dan masih bengong kalo ada orang lain yang ngomongin tentang kasus nya Susno Duadji (bareskrim non aktif).
Tenang, dsini gue kasih liat kutipan wawancara nya wartawan Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika menemui Susno Duadji.

Polisi dituduh hendak menggoyang KPK karena memeriksa pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang penyadapan. Komentar Anda?

Kalangan pers harus mencermati, apakah karena dia (Chandra Hamzah) pimpinan KPK lalu ada masalah seperti ini tidak disidik. Katanya, asas hukum kita, semua sama di muka hukum. Jelek sekali polisi kalau ada orang melanggar undang-undang lalu dibiarkan. Kami sudah berupaya netral dan menjadi polisi profesional.

Apa memang ditemukan penyalahgunaan wewenang untuk penyadapan itu?

Saya tidak mengatakan penyalahgunaan atau apa. Silakan masyarakat menilai. Menurut aturan, yang boleh disadap itu orang yang dalam penyidikan korupsi. Kalau Rhani Juliani, apa itu korupsi? Dia bukan pengusaha, bukan pegawai negeri, bukan juga rekanan dari perusahaan. Kalau korupsi, korupsi apa, harus jelas.

Tapi sikap Anda ini dinilai menggembosi KPK?

Kalau kami mau menggembosi itu gampang. Tarik semua personel polisi, jaksa. Nanti sore juga bisa gembos. Lalu Komisi III nggak usah beri anggaran. Kami berteriak-teriak ini supaya baik republik ini.

Kami mendapat informasi, saat diperiksa Antasari membeberkan keburukan pimpinan KPK yang lain.

Saya tidak tahu, tanya ke Antasari. Lha, sekarang kalau pimpinannya yang mengatakan lembaga itu bobrok, berarti parah, dong. Dia kan yang paling tahu. Dia kan pimpinannya.

Ada kesan polisi dan KPK justru berkompetisi, bukan bersinergi. Benar?

Tidak, yang melahirkan KPK itu polisi dan jaksa. Saya anggota tim perancang undang-undang (KPK). Kami sangat mendukung. Tapi karena opini yang dibentuk salah, seolah-olah jadi pesaing. Padahal 125 personel yang melakukan penangkapan dan penyelidikan (di KPK) itu kan personel polisi. Penuntutnya juga dari kejaksaan. Kalau nggak gitu, ya matek (mati) mereka. Jadi, tak benar jika dikatakan ada persaingan

Anda, kabarnya, juga akan ditangkap tim KPK karena terkait kasus Bank Century?

Ah, ya enggak, itu kan dibesar-besarkan. Mau disergap, timbul pertanyaan siapa yang mau menyergap. Mereka kan anak buah saya. Kalau bukan mereka, siapa yang mau nangkap? Makanya, Kabareskrim itu dipilih orang baik, agar tidak ditangkap.

Kalau penyidik KPK yang menangkap?

Mana berani dia nangkap?

Karena adanya berita itu, Anda katanya marah sekali sehingga kemudian memanggil semua polisi yang bertugas di KPK?

Tidak, saya tidak marah. Mereka kan anak buah saya. Mereka pasti memberi tahu saya. Saya cuma kasih tahu kepada mereka, gunakan kewenangan itu dengan baik.

Apa benar Anda minta imbalan untuk penerbitan surat kepada Bank Century agar mencairkan uang Boedi Sampoerno?

Imbalan apa? Apanya yang dikeluarkan? Semua akan dibayar, kok. Bank itu tidak mati, semua aset diakui dan ada. Terus apa lagi yang mesti diurus? Yang perlu diurus, uang yang dilarikan Robert Tantular itu.

Jadi, apa konteksnya saat itu Anda mengirim surat ke Bank Century?

Konteksnya, saya minta jangan dicairkan dulu rekening yang besar-besar. Kami teliti dulu. Paling besar kan punya Boedi Sampoerna, nilainya triliunan rupiah. Kami periksa dulu, kenapa Boedi Sampoerna awalnya nggak mau melaporkan.

Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?

Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa.

Ada Apa dengan Aparat Kepolisian [sumb-1, sumb-2]

Dua lembaga penegakan hukum di Indonesia yakni Kejaksaan dan Kepolisian selama ini mendapat cap buruk sebagai sarang korupsi dan sarang tindakan kriminal. Pada tahun 2008, Polri mendapat peringkat pertama sebagai lembaga publik terkorup di Indonesia [TII, 2008]. Sedangkan 2009, giliran lembaga peradilan/kejaksaan mendapat Cicak‘juara” kedua sebagai lembaga terkorup setelah DPR. [TTI, 2009]. Belum cukup sampai disana, pada 24 Juni 2009, Amnesti Internasional merilis dokumen setebal 89 halaman berjudul “Urusan Yang Tak Selesai: Pertanggungjawaban Kepolisian di Indonesia” dengan inti laporan adalah kepolisian Indonesia melakukan penyiksaan, pemerasan, dan kekerasan seksual terhadap tersangka yang mana perilaku ini sebagai budaya melanggar hukum pada 2008 dan 2009 [sumber,2009]

Dan blunder yang paling panas adalah pernyataan Kabareskrim MSD yang menyatakan petinggi kepolisian tidak dapat disentuh oleh KPK. Pernyataan SD ini membawa ingatan kita pada perseteruan antara polisi dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC), lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong (Kompas, 2 Juli 2009).

Pada tahun 1977, “KPK Hongkong” tersebut membongkar kasus korupsi Kepala Polisi Hongkong yang tertangkap tangan menyimpan aset sebesar 4,3 juta dollar Hongkong dan menyembunyikan uang 600.000 dollar AS. Akibatnya, beberapa saat kemudian, Kantor ICAC digempur oleh polisi Hongkong. Setelah pengadilan memutuskan bahwa Kepala Polisi tersebut memang terbukti bersalah dan ICAC terbukti bersih, maka Hongkong pun kini dikenal sebagai negara yang relatif bersih dari tindak pidana korupsi. Dan fakta ini tak lepas dari kinerja ICAC.

Gerakan CICAK [sumber]


kutipan ini gw posting dari google.

kalo mau liat lebih lengkap silahkan aja link ke address ini : http://nusantaranews.wordpress.com/2009/07/13/gerakan-cicak-dan-kisah-cicak-melawan-buaya-kpk-vs-polri/)

karikatur CICAK VS BUAYA

Ini adalah karikatur gambar dari guratan kekecewaan masyarakat awam terhadap peristiwa yang sedang terjadi di negara ini. jangan dibuat jadi pancingan amarah, anggap saja ini adalah suara rakyat yang belum dapat didengar oleh kalangan atas (pemerintah). Menyingkap dari gelap gulita nya hukum di negara ini.

www.ruanghati.com

www.
ruanghati.com

www.ruanghati.com


(posting : http://ruanghati.com/2009/11/02/perlawanan-cicak-vs-buaya-dalam-karikatur-sindiran-dan-refleksi/)

STRUKTUR ORGANISASI KOPERASI 2

STRUKTUR ORGANISASI KOPERASI 1

SOP DAN APLIKASI E-CREDIT UNTUK MENDETEKSI ASSYMETRIC INFORMATION DI PASAR KREDIT BPR

A. Judul Program
SOP DAN APLIKASI E-CREDIT UNTUK MENDETEKSI ASSYMETRIC INFORMATION DI PASAR KREDIT BPR

B. Latar Belakang Masalah
Pasar kredit perbankan di Indonesia masih diwarnai dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) yang tinggi, terutama setelah Bank Indonesia (BI) melalui Paket Juni 2005 memperketat ketentuan kolektibilitas sebuah kredit. Khusus untuk NPL kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang merupakan 51% dari total kredit perbankan hanya sebesar 2,09% (Retnadi,2006). Berlatar belakang kenyataan ini maka Bank Indonesia mendorong pengembangan kredit untuk membiayai UMKM sedangkan bagi bank yang tidak berkompeten dalam pembiayaan UMKM disarankan mengembangkan kredit konsumsi.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), terdapat 5 kelas kelas bank dalam struktur perbankan yaitu bank internasional dengan modal di atas Rp50 triliun, bank nasional dengan modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun, bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu dengan modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun, serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp100 miliar. Seiring dengan konsentrasi pengembangan kredit pada kredit UMKM dan kredit konsumsi, maka BI melalui Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat 2006 mencanangkan bahwa BPR menjadi salah satu pilar penting dalam sistem keuangan mikro Indonesia. Hal ini sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki BPR, yaitu BPR memiliki prosedur pelayanan yang sederhana, proses yang cepat, dan skim kredit yang lebih fleksibel. Selain itu, BPR juga unggul dalam hal pelayanan kepada nasabah yang mengutamakan pendekatan personal dan ‘jemput bola’, lokasi kantor yang dekat dengan nasabah, serta lebih memahami ekonomi dan masyarakat setempat. Jika melihat data akhir bulan Juli 2006, rata-rata saldo tabungan, deposito dan kredit per rekening nasabah BPR adalah masing-masing sebesar Rp699 ribu, Rp29,5 juta dan Rp6,7 juta, maka secara implisit data tersebut mencerminkan karakteristik nasabah dan fokus layanan BPR pada masyarakat menengah kebawah serta para pengusaha mikro dan kecil (UMK).
Yang menjadi masalah adalah, jika dibandingkan dengan bank umum, NPL BPR lebih tinggi daripada NPL bank umum walaupun BPR memiliki Loan to Deposit Ratio (LDR) yang lebih baik dari bank umum. Selama periode tahun 2001 sampai dengan Juli 2006 rata-rata LDR BPR adalah 77,9% sedangkan Bank Umum hanya 47,7% (Gambar 1). Sebanyak 81,3% dari seluruh BPR di Indonesia memiliki rasio LDR diatas 70% (Gambar 2). Hal ini mengisyaratkan bahwa kemampuan BPR untuk menyalurkan dananya lebih baik dari pada Bank Umum. Namun secara historik, meskipun angka LDR BPR selalu diatas angka LDR Bank Umum, terlihat bahwa LDR BPR pada 3 tahun terakhir tidak mengalami perkembangan yang cukup baik bahkan mengalami sedikit penurunan. Sebaliknya, secara perlahan LDR Bank Umum justru memperlihatkan perkembangan yang lebih baik. Hal ini mengindikasikan adanya kesulitan BPR untuk mengembangkan penyaluran kredit kepada masyarakat. Kemudian jika dilihat dari data NPL, pada periode tahun 2001 sampai dengan 2006 rata-rata NPL BPR mencapai 8,9% melebihi NPL Bank Umum yaitu 7,8% (Gambar 3). Sama halnya dengan LDR, hampir dikeseluruhan periode periode tahun 2001 s/d 2006, angka NPL BPR selalu berada di atas angka NPL Bank Umum. Bahkan selama 3 tahun terakhir, NPL BPR cenderung mengalami kenaikan. Hal ini berarti tingkat kegagalan kredit BPR relatif lebih tinggi di bandingkan dengan Bank Umum. Apakah tingginya tingkat kegagalan kredit ini menggambarkan adanya masalah asymmetric information pada pasar kredit BPR?


Gambar 1. Perkembangan LDR BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006


Gambar 2. Sebaran Rasio LDR BPR per Juli 2006

Gambar 3. Perkembangan NPL BPR dan Bank Umum 2001 s/d Juli 2006
(Sumber : Bank Indonesia, Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006)

Data menunjukkan bahwa sekitar 12 juta dari 15 juta UMK berbadan hukum belum mendapatkan kredit perbankan (Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat, 2006). Selain itu, sebagian besar masyarakat pedesaan yang populasinya mencapai sekitar 56,5% dari total penduduk Indonesia belum tersentuh layanan perbankan (BPS, 2005). Hal ini merupakan potensi pasar sekaligus pekerjaan rumah tersendiri bagi BPR. Dengan karakteristik opersional BPR yang sederhana dan fleksibel karena mengutamakan pendekatan personal, BPR dianggap mampu menjadi solusi kendala keuangan UMK dan masyarakat pedesaan. Namun disisi lain, data yang menunjukkan bahwa LDR dan NPL BPR yang relatif tinggi dibandingkan dengan bank umum mengindikasikan bahwa BPR kurang hati-hati dalam menyalurkan dana kreditnya.
Alat analisis kredit yang dikembangkan berdasarkan prinsip 6C pun belum dipakai sepenuhnya sebagai alat pengumpulan informasi yang berguna untuk menilai kelayakan sebuah aplikasi kredit dan masih dilaksanakan secara manual. Sehingga efeisiensi prosedur kredit sulit dicapai sesuai dengan target penyaluran kredit dan kualitas kolektibilitas (lancar tidaknya ) kredit di pasar BPR.

C. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Apakah terjadi Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Apakah terdapat pengaruh Asymetric information terhadap kelancaran maupun kegagalan kredit di BPR?

D. Tujuan Program
1. Menganalisa efisiensi prosedur analisa aplikasi kredit di PBR?
2. Menguraikan keberadaan Asymmetric information pada pasar kredit BPR?
3. Menganalisa adanya pengaruh Asymetric information terhadap kegagalan kredit yang terjadi pada pasar kredit BPR?
Sesuai dengan keterbatasan tim, khsususnya dalam hal kemampuan, waktu dan biaya. Maka unit analisa pada program ini dibatasi hanya pada BPR yang yang berlokasi di sekitar kampus Universitas Gunadarma, Depok.

E. Luaran Yang Diharapkan
Berdasarkan rumusan dan tujuan di atas, hasil dari program ini adalah:
1. Gambaran informasi pasar kredit BPR di seputar jalan Margonda
2. Standar dan prosedur aplikasi kredit di BPR
3. Rancangan aplikasi e-kredit untuk BPR.

F. Kegunaan Program
Program kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Sebagai standar dan prosedur apliaksi kredit berbasis elektronik yang efisien.
2. Sebagai alternatif penjelasan bagi BPR mengenai sebab lancar atau gagalnya kredit.
3. Sebagai alternatif pertimbangan bagi BPR untuk mempertajam analisis kredit yang dapat mengurangi masalah adverse selection dan moral hazard sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit.
4. Sebagai alternatif pertimbangan bagi Bank Indonesia sebagai regulator perbankan untuk menentukan kebijakan yang lebih tepat mengenai analisis kredit sehingga dapat menurunkan tingkat kegagalan kredit perbankan nasional.
5. Sebagai kontribusi bagi ilmu pengetahuan, khususnya masalah adverse selection dan moral hazard, terutama pada pasar kredit perbankan skala kecil.

G. Tinjauan Pustaka
Asymmetric Information
Perjanjian kredit disusun sebagai landasan hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak penerima pinjaman (nasabah) dan pihak pemberi pinjaman (bank). Pada dasarnya nasabah berjanji untuk membayar pokok pinjaman ditambah sejumlah bunga yang telah ditetapkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Mengingat adanya ketidakpastian (uncertainty) yang melekat sebuah proyek, maka kemampuan nasabah membayar kreditnya juga diragukan. Untuk mengatasi hal ini maka harus ditentukan kemungkinan total pembayaran kredit nasabah dan penetapan suku bunga kredit sebagai konsekuensinya. Masalah lain, lemahnya janji nasabah untuk mematuhi perjanjian sangat sulit untuk diukur. Seorang analis kredit yang berpengalaman akan memperhatikan apakah seorang nasabah berusaha untuk membuat samar sifat dasar usaha yang dilakukannya, karena mengalihkan penggunaan dana kredit atau menyembunyikan hasil investasi yang sebenarnya. Isu ini dikenal dengan masalah asymmetric information. Konflik kepentingan akan muncul jika faktor-faktor ini mengganggu keuntungan bank.
Perjanjian kredit akan disepakati oleh bank dan nasabah jika keuntungan yang diharapkan (expected profit) pihak bank dan nasabah minimal setara atau lebih besar dari laba yang diharapkan dari investasi dana kredit tersebut pada proyek lainnya (participation constraint atau individual rationality constraint). Atau dengan kata lain, tidak ada pihak yang akan berpartisipasi dalam sebuah proyek dengan pendapatan yang diharapkan (expected return) negatif, atau dengan profit yang tidak mencapai nilai minimal expected profit, ditandai dengan kesempatan investasi lain yang akan hilang karena adanya investasi tersebut (opportunity cost atau required return).

Nilai yang diharapkan (Expected Value) dari sebuah proyek adalah :
..........(1)
Dimana :
adalah probabilitas sukses yang menyebabkan pembayaran kredit lancar
adalah probabilitas gagal yang menyebabkan pembayaran kredit terhenti
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika sukses
adalah arus kas (cash flow) nasabah jika gagal
Jika bank dan nasabah memiliki akses terhadap informasi yang sama yang berkaitan dengan perjanjian kredit, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian direalisasikan dalam kondisi symmetric information. Namun sebaliknya, jika bank dan nasabah tidak memiliki akses terhadap informasi yang sama, maka perjanjian kredit disetujui kedua belah pihak dalam kondisi asymmetric information. Atau dengan kata lain, Nasabah memiliki informasi yang bank tidak peduli atau bank tidak memiliki akses untuk mendapatkannya. Masalah ini menjadi perhatian bank ketika nasabah dapat memanfaatkan informasi yang dimilikinya dengan memanfaatkan pengeluaran bank, yaitu :
1. Nasabah melanggar proyek kredit dengan cara menyembunyikan informasi mengenai karakteristik dan pendapatan usaha yang dijalankannya.
2. Bank tidak memiliki informasi yang cukup atau melakukan kontrol terhadap nasabah untuk menghindari kecurangan .
3. Terdapat risiko pembayaran kredit dan nasabah memiliki limited liability.

Adverse Selection
Pemberi pinjaman menderita adverse selection ketika tidak mampu membedakan nasabah/proyek berdasarkan risiko yang dimilikinya. Masalah adverse selection muncul sebelum nasabah menerima kredit. Perbedaan tingkat suku bunga, expected profit nasabah dan expected income bank dengan dan tanpa adverse selection. Ketika tidak terjadi adverse selection maka tingkat suku bunga untuk nasabah/proyek dengan risiko tinggi lebih tinggi dibanding dengan nasabah/proyek dengan risiko rendah kemudian bank menerima expected income yang sesuai. Tetapi ketika terjadi adverse selection, nasabah dengan tingkat risiko yang berbeda menerima tingkat suku bunga yang sama. Dari nasabah dengan proyek a, bank menerima expected income yang lebih besar dari yang seharusnya. Sebaliknya, dari nasabah dengan proyek b bank menerima expected income yang lebih kecil dari yang seharusnya. Dengan demikian, nasabah berisiko tinggi akan mendapatkan keuntungan lebih besar dalam kondisi imperfect information.

Moral Hazard
Kemampuan nasabah untuk menggunakan dananya untuk keperluan lain yang tidak sama seperti yang telah disepakati sebelumnya dengan bank. Bank tidak memiliki kemampuan untuk melakukan observasi karena keterbatasan informasi dan keterbatasan untuk melakukan kontrol terhadap nasabah.
Nasabah pasti akan meyakinkan bank bahwa akan memilih proyek h, dengan demikian akan dikenakan suku bunga yang lebih rendah dari pada memilih proyek l. Namun mengingat tanpa sepengetahuan bank, nasabah dapa mengalihkan penggunaan kredit ke proyek l yang menyebabkan bank memperoleh expected income yang lebih rendah, maka bank harus meyakinkan bahwa proyek h lebih menarik dari kacamata nasabah. Oleh karena itu bank harus memastikan bahwa (incentive compatibility constraint).
Dengan demikian, jika tingkat suku bunga ditetapkan dengan memenuhi persyaratan di atas, maka tidak terjadi moral hazard. Sebaliknya jika suku bunga ditentukan lebih dari persyaratan di atas, maka nasabah akan tertarik untuk mengalihkan menjalani proyek l dengan berpura-pura akan menjalani proyek h untuk mendapatkan suku bunga yang lebih rendah.

BPR
Landasan Hukum BPR adalah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah gdiubah dengan UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR sebagai satu jenis bank yang kegiatan usahanya terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya BPR dapat menjalankan usahanya secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.
Kegiatan usaha yang diperkenankan dilakukan oleh BPR sangat terbatas dibandingkan dengan Bank Umum, yaitu hanya meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, memberikan kredit serta menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/ atau
Dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan serta memberikan arah dan strategi perbankan ke depan maka disusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan di Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu sampai sepuluh tahun berlandaskan visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai visi tersebut, salah satu sasaran yang ingin dicapai yaitu menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat tercapai struktur perbankan yang terdiri dari empat strata bank yaitu bank internasional yang memiliki kapasitas dan kemampuan beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp50 triliun; bank nasional yang memiliki cakupan usaha sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun; bank dengan fokus usaha tertentu yaitu bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank serta memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun; serta BPR dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar. Dalam rangka mencapai visi tersebut di atas, program-program API telah memberikan perhatian pada perlunya penguatan permodalan, kelembagaan dan manajemen BPR, serta penyempurnaan pengaturan dan pengawasan BPR.
Selama ini, sebagian besar pengusaha mikro dan kecil serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan baik dari aspek pembiayaan maupun penyimpanan dana. Adapun lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut adalah BPR dengan pertimbangan:
a. BPR merupakan lembaga intermediasi sesuai dengan UU Perbankan.
b. BPR merupakan lembaga keuangan yang diatur dan diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia.
c. Adanya penjaminan oleh LPS atas dana masyarakat yang disimpan di BPR.
d. BPR berlokasi di sekitar UMK dan masyarakat pedesaan, serta memfokuskan pelayanannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
e. BPR memiliki karakteristik operasional yang spesifik yang memungkinkan BPR dapat menjangkau dan melayani UMK dan masyarakat pedesaan.

Dari uraian di atas, maka kerangka program kegiatan dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 4. Kerangka Programi

H. Metode Program
Survei dan eksperimen terhadap BPR akan dilakukan dengan prosedur penetapan BPR sebagai unit amatan. Data bulan Juli 2006 menunjukkan terdapat 1935 BPR di Indonesia (Cetak Biru BPR, 2006). Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya mengharuskan tim membatasi BPR yang akan menjadi unit amatan.

Secara rinci kriteria yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
1. BPR berlokasi di seputar Jl. Margonda raya (seputar Kampus Universitas Gunadarma, Depok).
2. BPR anggota asosiasi BPR yaitu Perbarindo (Perhimpunan BPR Indonesia). Dalam Cetak Biru BPR (2006), BI mencanangkan Perbarindo sebagai infrastruktur penting yang dibentuk dalam rangka meningkatkan kinerja dan pengembangan BPR. Oleh karena itu, untuk mempermudah akses perolehan data, BPR yang menjadi objek penelitian adalah BPR yang menjadi anggota Perbarindo.
3. BPR sudah menyerahkan laporan keuangan ke Perbarindo.
Sebelum masuk pada pembatasan dengan kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan BPR, hal yang harus diperhatikan adalah kemungkinan perolehan data. Dalam hal ini, BI sebagai pihak yang memiliki data lengkap tidak dapat memberikan data dengan alasan kerahasiaan data. Namun demikian, pada tahun 2005 Perbarindo menerbitkan buku Direktori Perbarindo yang berisi daftar BPR anggota Perbarindo. Di dalam buku tersebut juga tercantum laporan keuangan secara singkat. Sehingga pemilihan BPR yang memenuhi kriteria yang berhubungan dengan laporan dan kinerja keuangan hanya dapat dilakukan terhadap BPR yang laporan keuangannya tercantum dalam buku Direktori Perbarindo 2005.
4. Menganalisa aplikasi kredit sebagai sumber data dari nasabah semua BPR amatan
5. Mengamati prosedur aplikasi kredit dari awal, proses sampai dengan keputusan setiap aplikasi kredit di BPR amatan
6. merancang output aplikasi e-kredit untuk BPR.
7. Implementasi Rancangan output apliaksi e-kredit untuk BPR.





I. Jadwal Kegiatan Program
a) Jadwal Kegiatan Program
b) Nama dan Biodata Ketua serta Anggota Kelompok
c) Nama dan Biodata Dosen Pendamping
d) Biaya
e) Daftar Pustaka (untuk PKMP dan PKMT)
f) Lampiran

    univ. gunadarma

    univ. gunadarma
    my campus

    mawar hitam

    mawar hitam
    gw banget...

    dHEwi NuRUL ..

    dHEwi NuRUL ..
    me & mine

    what time it's, now...?

    fans gw nih...